Diajak ke Mappettuada, Lamaran Adat Bugis





kerudung hantaran yang tepat di depan tempat duduk saya
isinya, aneka kue





Dalam banyak budaya, salah satu acara yang kental dengan prosesi adat adalah pernikahan. Tata cara adat tidak hanya dilaksanakan pada hari-H pernikahan. Acara adat bahkan sudah mewarnai tahapan sejak sebelum pernikahan, seperti lamaran.

Pada Minggu (14 Maret), saya dan BJ diajak ke sebuah acara lamaran oleh keluarga angkat kami. Puji Tuhan, begitu pindah ke sini, kami langsung punya orangtua angkat.

FYI, keluarga angkat kami di Sulawesi ini adalah pemilik rumah yang kami tinggali. Dengan posisi rumah yang saling membelakangi, praktis bapak dan ibu angkat sekaligus tetangga terdekat. Beberapa kali pindah tempat tinggal membuat saya berpikir, hubungan baik dan dekat dengan orang-orang setempat adalah berkat. Family is not always blood itu benar adanya.



Acara lamaran ini bukan untuk anak bapak-ibu. Namun ada keluarga bapak-ibu yang tinggal di luar Sulawesi, sehingga calon mempelai dan keluarga berangkat dari rumah bapak-ibu. Praktis, saya tidak mengenal calon pengantin dan keluarga intinya. Pokoknya mah hayuk aja saat ibu mengajak ^-^.

Sebenarnya Ale dan Elo diajak serta. Namun, dua bocah itu nggak mau ikut. Mereka lebih memilih tinggal bermain bersama kakak, si bungsu bapak dan ibu, dan teman-temannya. Baiq-lah.

Info dari ibu, acara ini menggunakan adat Bugis (mappettuada). Berhubung dibilang ibu, ini acara adat, jadi saya dan BJ sama-sama berasumsi kalau acaranya akan makan waktu cukup lama. Kalau ikut, kemungkinan besar anak-anak juga akan bosan.

Saya dan BJ sama-sama belum tahu bagaimana acara lamaran adat Bugis. Selama ini, kalau tentang pernikahan adat Bugis/Makassar, kami hanya tahu istilah uang panai'. Besaran uang panai memang variatif, tergantung kesepakatan keluarga. Pada keluarga mampu, jumlah uang panai' bisa fantastis, sampai-sampai tersiar di portal berita.

Selepas shalat dzuhur, rombongan berangkat. Bukan rombongan dengan outfit tradisional gitu kok. Bahkan, si calon pengantin laki-laki juga hanya mengenakan celana dan kemeja model biasa. Rombongan membawa bermacam hantaran yang sudah disiapkan (termasuk cincin dan uang dalam kotak cantik).

Lokasi lamaran di rumah calon pengantin perempuan. Jaraknya tidak terlalu jauh, tidak sampai 30 menit dari rumah bapak-ibu. Tiba di sana, saya ikut dalam kawanan ibu-ibu yang membawakan hantaran. Saya kebagian membawa nampan berisi gula merah dan tunas kelapa. Jadi ingat pramuka dong. Yang pasti, semua benda-benda dalam seserahan pasti punya makna filosofis masing-masing.

***

Mappettu artinya memutuskan, sedangkan ada artinya perkataan. Secara harfiah bisa diartikan sebagai putus kata. Dalam pelaksanaannya merupakan peresmian proses pinangan yang telah dilakukan sebelumnya (mammanu’-manu’).

Berbeda dengan asumsi saya dan BJ, acara mappettuada yang kami hadiri terbilang singkat. Saya tidak mencatat detail kronologis acara (kan bukan liputan hehehe). Jadi mungkin ada yang terbalik dalam urutan acara berikut ini :

Acara diawali dengan pembukaan dan doa, dilanjutkan berbalas kata antar kedua pihak keluarga. Setelah itu pengumuman dan penanda-tanganan hasil kesepakatan keluarga yang telah dirundingkan sebelumnya, seperti besaran uang panai’, mahar, tanggal pernikahan, dan lain-lain. Jiwa kepo saya mencatat uang panai' sebesar Rp 100 juta, jumlah yang buat saya sudah WOW. Namun, kalau baca berita, uang panai ada yang sampai miliar lho...fantastis kan?Acara selanjutnya adalah penyematan cincin ke calon mempelai perempuan. Lalu calon mempelai laki-laki masuk menemui calon mempelai perempuan. Selanjutnya, acara foto-foto dan makan-makan.



Sebelum pukul 16.00, kami sudah bergerak pulang. Sebagai bukan-orang-Bugis, saya merasa acara ini simpel. Tidak terlalu kental dengan warna adat tradisional. Sepertinya hanya basis adat saja yang diterapkan.

Perasaan saya dipertegas pendapat ibu bahwa acaranya memang simpel. Saat perjalanan pulang, ibu bahkan sempat bilang : “enak anak-anak sekarang ya, bisa mengatur sendiri acara pernikahannya, beda zaman dulu, semua serba diatur keluarga.”

Btw, teman-teman bisa baca rangkaian adat pernikahan tradisional Bugis di SINI. Panjang juga kalau semua tahap dijalani dengan seksama. Namun, menurut ibu, saat ini banyak acara pernikahan adat yang lebih simpel dalam pelaksanaannya.

Hal Baru Buat Saya

Lain ladang, lain belalang. Pepatah lama yang tetap relevan sepanjang zaman. Bagi saya, setidaknya ada tiga hal yang baru yang saya dapati dalam acara kemarin.

Pertama adalah penanda-tanganan kesepakatan antara kedua pihak keluarga. Tanda tangan berarti dokumen tertulis dong. Kontras dengan adat tradisional yang biasanya serba lisan, di sini ada ada kesepakatan formal. Apa memang biasa demikian? Terima kasihhh jika teman-teman yang paham adat Bugis-Makassar menambahkan jawaban di kolom komentar.🙏🙏

Kedua penyematan cincin oleh pihak keluarga. Dalam acara pertunangan yang pernah saya lihat (baik secara langsung maupun di media), penyematan cincin biasa dilakukan oleh calon mempelai laki-laki ke calon mempelai perempuan. Namun, dalam acara kemarin, cincin disematkan oleh pihak keluarga laki-laki (saya nggak tahu siapa-nya). Menurut ibu, dalam acara pernikahan nanti, barulah cincin disematkan oleh mempelai laki-laki.

Ketiga, uang panai’ yang ternyata berbeda dengan mahar. Howalaaah, serius loooh, saya baru ngeh kalau uang panai’ itu berbeda dengan mahar. Sebelumnya saya berpikir kalau uang panai’ sama dengan uang mahar😀.

Ada yang punya asumsi serupa dengan saya?

Penjelasan mudahnya : mahar adalah syarat pernikahan dalam agama Islam dan uang/benda sepenuhnya menjadi hak pengantin perempuan. Sedangkan panai’ merupakan uang pesta yang penggunaannya diatur oleh keluarga. Pengetahuan yang sangat basic pun, saya baru tahu. Sebagai non-muslim, saat menikah kan saya nggak pakai istilah mahar.

Tempo hari, saya membaca sejarah uang panai’ di platform Quora. Konon, uang panai’ bermula dari zaman Belanda. Uang panai’ diadakan sebagai syarat agar orang asing tidak gampangan dalam mempersunting gadis-gadis Bugis-Makassar.

Local wisdom-nya adalah penghargaan terhadap keluarga dan mempelai perempuan. Juga penghargaan terhadap institusi pernikahan karena mesti bekerja-keras untuk itu.

Memang, dalam perkembangannya muncul pro dan kontra terhadap tradisi uang panai’. Sebab, di sisi lain uang panai’ justru menjadi sarana jor-joran dan bahkan bisa menyulitkan pelaksanaan pernikahan.

Sebagai orang luar, saya merasa tidak punya kapasitas untuk menilai. Saya hanya mengingat perkataan ibu saat perjalanan pulang, “tentang hal seperti itu kan bisa dibicarakan baik-baik.”

Beda cerita kalau sudah saklek, ya kan?




Disclaimer : tulisan saya tidak menceritakan lamaran adat Bugis yang lengkap dan rinci. Saya hanya menuliskan berdasarkan acara yang saya hadiri.




Previous ; FamTrip Toraja (part #5)

Next : Sepuluh Bulan di Makassar

49 komentar untuk "Diajak ke Mappettuada, Lamaran Adat Bugis"

  1. menarik sekali bisa belajar banyak budaya baru nih mba. Lamaran tuh saat istimewa yang pastinya dirayakan. AKu baru tau tradisi uang panai ini mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. apalagi mbak Indah ya...sudah melanglang kemana-mana gitu. Pasti lebih banyak tau ttg tradisi2 unik di berbagai negara

      Hapus
  2. Tanteku menikah dengan adat bugis juga. Dan menggunakan baju adat bugis. Senangnya memang kita bisa jadi belajar dan ngeh tentang budaya lain yang bagus bagus ya. Dan ini harus dilestarikan

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau yg saya datangi kemarin sih outfitnya biasa (bukan baji adat) mbak. Even calon pengantinnya sekalipun.

      Hapus
  3. meski aku orang bugis malah belum pernah lamaran dengan menggunakan adar bugis ini, seru ya padahal acara adatnya, pakai baju adat bugis juga

    BalasHapus
  4. wah ada perjanjian hitam di atas putih ya mbak. Jadi penasaran penandatanganan kesepakatan ini memang bagian dari adat, sudah ada sejak jaman dulu, atau baru-baru aja ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya juga pinisirin tu mbaak.. teringatnya malah sama perjanjian pranikah. etapi beda sih isi perjanjiannya :)

      Hapus
  5. Wah, ada kesepakatan tertulis juga ya. Aku kira uang panai itu mahar lho, ternyata uang untuk acara pernikahan ya. Unik banget ya adat bugis

    BalasHapus
    Balasan
    1. sepemikiran kita mbak. panai = mahar, ternyata tidak

      Hapus
  6. Jaman now.. emang ga bisa dipaksakan harus mengikuti adat sesaklek-sakleknya ya..Jadi meski uang panai nilainya besar bisa dibicarakan dan disepakati sesuai kemampuan ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo ibu angkat saya sih golongan yg ga saklek soal itu :)

      Hapus
  7. Iya juga saya kira uang panai uang mahar. Ternyata bukan ya. Indonesia yang kaya budayanya. Tetapi makin lama untuk pernikahan secara adat makin simple dilakukan

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya jg menikah dengan baju jawa tp blas ga pakai ritual adatnya ;)

      Hapus
  8. Di tempatku cewek Bugis terkenal "mahal". Kadang kasian, ada yg batal nikah karena cowoknya gak kuat

    BalasHapus
    Balasan
    1. katanya bisa jd alasan orangtua utk menolak calon yg mereka ga suka ya...kasih panai yg tinggi yg sekiranya si calon ga bakalan kuat

      Hapus
  9. wah aku juga belum pernah ikut mappetuada. Pernahnya datang ke malam sebelum acara pernikahan, apa ya itu namanya. Pokoknya yang calon pengantin perempuan sudah berdandan rapi jali.
    btw, iya yaa uang mahar untuk diberikan ke pengantin perempuan sedangkan uang panai untuk keluarganya. Butuh effort besar untuk menikah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sampai pernah nemu pertanyaan di platform Quora : bagaimana nasib perempuan Bugis/Makassar dengan adanya tradisi uang panai"?
      Kalau ketemu keluarga yg ga saklek sih bisa dibicarain ya.m

      Hapus
  10. Tradisi uang panai memang sempat ramaaaiii di socmed ya mba
    ada yg terpaksa bubar jalan karena keluarga pihak laki ga bisa bayar uang panai.
    baru paham nih, serba/i local wisdom ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyup...trakhir sebelum ke acara lamaran ini saya sempet baca uang panai 1 miliar

      Hapus
  11. Oalah, uang Panai tuh buat pesta. Kupikir itu uang buat mempelai aja, semacam uang lamaran gitu. Kalau di Jawa, ada sih ngasih uang buat beli bumbu atau keperluan nikah. Namun besarnya beda-beda, gak ada patokan. Ada pula yang gak ngasih. Balik ke keluarga masing-masing

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau istilah di kampungku "bayar tukon" mbak..
      hihi istilah yg pasti ga enak di telinga feminis yaa. Tapi setauku nominalnya jarang yg fantastis

      Hapus
  12. Lihat kerudung hantaran, kepo pengen tahu isi kuenya.

    Panai beda dengan mahar? Jadi ingat, pernah punya teman yg bersuamikan orang bugis dan cerita kalau semakin tinggi pendidikan calon mempelai perempuan semakin tinggi panainya. Tapi masih bisa didiskusikan katanya, bukan di patok secara sepihak (ini versi cerita dari teman saya, saya sendiri belum pernah tahu secara langsung adat lamaran dan pernikahan Bugis)

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku juga ga ngerti kue apa mbak haha
      iya bener, semakin tinggi pendidikan perempuan, katanya semakin tinggi uang panainya.

      Hapus
  13. aku selalu excited deh sama acara2 yang berlatar adat lokal. adat Bugis (mappettuada) ini termasuk yg masih sangat kuat dijalankan ya. dulu zaman kuliah aku ngekos sm orang bugis di JKT dan akhirny berteman dengan banyak orang bugis dan mrk tuh banyak bgt acara2 adat yg masih dipraktikkan. suka dilibatkan dan seru aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama mbak. saya suka lihat acara2 adat. tapi males kalau menjalani sendiri. :D

      Hapus
  14. Kaya banget sumpah esensi budayanya..jadi pengin ikutan liat langsung prosesnya, dan mappettuada ini masih dijalankan sampai sekarang yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. meski hanya basic-nya yang diterapkan, tapi memang memperkaya pengetahuan

      Hapus
  15. Adat istiadat setiap daerah selalu seruu, Indonesia yang kaya akan budaya salah satunya Bugis ini.
    Mbaca lamaran adat bugis ini jadi nambah wawasan dan seneng banget banyak kosakata yang baru di dengar.
    Dan aku setuju banget dengan istilah "family is not always blood itu benar adanya"

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau baca rincian adat yang aslinya, semakin banyak istilah lokalnya :)

      Hapus
  16. Helahhh...aku juga tahunya uang panai tuh uang mahar mbak. Hahaha
    Jadi tahu kann sekarang 😂

    BalasHapus
  17. Oohh Ada penanda-tanganan kesepakatan antara kedua pihak keluarga juga ya klo di Jakarta gal ya cuma ucapan aja ama seserahan Sunda pun begitu.. jadi tambah ttg adat Bugis

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya juga baru tahu ini ada penandatangan kesepakatn

      Hapus
  18. wah menarik mak ceritanya..
    menghadiri salah satu upacara adat pasti menjadi pengalaman berharga yang sangat berkesan ya mak
    indonesia emang kaya ya budayanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. kaya bangeet memang. saya juga jadi penasaran gmn kalau proses lamaran yg melibatkan belis

      Hapus
  19. Tradisi uang panai ini ada baiknya ada kurang baiknya. Baiknya jd kyk simbol bahwa perempuan tu diistimewakan gtu ya. Kalau kurang baiknya ya itu td jd ajang jor2an atau khawatirnya pas ada nikah cuma krn uang huhu.
    Tp selain dr itu semua tentu seneng banget pastinya bisa lihat momen lamaran dengan adat yang berbeda dr kita ya mbak, pengetahuan baru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. seperti koin mata uang, ada dua sisi :)

      Hapus
  20. Wuiihh 100 jutaaaa... mantap jiwa. Bisa ga kawin-kawin nih kalau ga punya uang segitu ya. Emang sih jadi serius dan tidak membuat pernikahan seperti mainan aja, kawin cerai gitu klo mudah. Tapi ya berat juga ya, misal tidak semua orang bisa menyediakan dana segitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu sih "sisi gelap" yang saya dengar dari uang panai. Baru terbuka maksud positifnya setelah baca sejarah uang panai

      Hapus
  21. Bener yaah...kerapkali uang panai malah menjadikan seseorang ragu untuk menikah.
    Padahal hukumnya asal kedua belah pihak ridho. Tapi kembali lagi sih yaa..pernikahan ini mau dibikin seperti apa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. agama dan adat memang kadang bertentangan. Tapi banyak juga yang bisa dijalankan bersama tanpa harus saling menafikkan

      Hapus
  22. Dan saya sudah menjalani pernikahan adat di atas dan menikah dengan orang Jawa. Sungguh suami saya kaget waktu datang meminang saya hahaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. waah...seruuu tuh mbak. Ada diceritakan di blog ga?? pengen baca hehehe

      Hapus
  23. Waah aku baru tau asal muasal uang panai ini. Kalo cincin tidak dipakaikan sama calon lakinya karena belum halal, jadi belum boleh menyentuh. Jadi biasanya keluarga laki yang perempuan, mungkin ibu, tante, atau kakak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya pikir adat asli dr leluhur, ternyata sejak zaman Belanda.

      Hapus
  24. Baru ingat kalau belum baca 😀.
    Wah seru ya Dik bisa belajar banyak hal baru. Matur nuwun critane. Salut sampe ada perjanjian hitam di atas putih gitu.

    BalasHapus
  25. selalu menarik mbak kalau terlibat dalam acara tradisi daerah lain, kalau saya pernah ikut prosesi pernikahan daerah banjarmasin

    BalasHapus
  26. Aku selalu merasa senang kalau baca cerita seperti ini, kental nuansa adat. Mungkin uang panai itu kalau di Jawa Tengah sebutannya uang "sadran" alias uang pesta dari pihak laki-laki untuk keluarga pihak wanita

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)