Natal Tanpa Wajik Bandung

 




Postingan pertama di tahun 2021.


Bulan Januari dan saya masih menulis tentang Natal. Ya kan belum terlalu lama lewat. Dalam kondisi normal, masih banyak perayaan Natal di minggu-minggu awal tahun baru. Saat Natal, biasanya ada bahasan soal makanan. Hari raya (agama apapun) memang sering identik dengan makanan. Biasanya ada makanan-makanan khas untuk moment tersebut. 


Namun, Natal dan wajik Bandung adalah dua perkara yang jarang digabung. Mungkin karena Natal itu hari raya agama yang tersebar ke Indonesia melalui londo*, jadi makanan khas yang lazim disebut juga yang kelondo-londoan. Sebutlah  kue jahe, kastangel, atau nastar. Nama-nama yang beda golongan dengan wajik, nagasari, atau ketan bakar.


Meski demikian, beberapa tahun belakangan ini, Natal kami selalu ditemani wajik Bandung. Kudapan manis dari beras ketan dan gula pasir dalam bungkusan kertas minyak aneka warna. Kudapan yang bagi kami tidak hanya manis di lidah, tetapi juga manis dalam ingatan.  

Walau ada embel-embel Bandung, wajik yang akan saya ceritakan justru tidak dibikin di kota kembang.  Jauh dari Paris van Java, wajik yang saya ceritakan dibuat di sebuah tempat bernama Silenduk.


Nama yang pasti tidak familiar bagi banyak orang. Silenduk memang bukan kota besar atau daerah wisata. Silenduk "hanya" sebuah kampung di Simalungun, Sumatera Utara. (Sampai saya menulis ini, saya masih belum yakin dengan penulisan yang benar. Silenduk atau Silinduk?). Sebuah kampung yang sepertinya mayoritas berpenduduk muslim sehingga tidak ada cerita khusus terkait tradisi Natal.


Namun, bagi saya, Silenduk akan selalu terhubung dengan kue Natal. 


Sebelum lanjut, sedikit cerita dulu tentang kue Natal :


Saya tumbuh dalam tradisi Natal-tanpa-sibuk-bikin/beli-kue. Menyediakan kue-kue saat Natal itu sifatnya tidak wajib.. Sebab, Natal memang tidak menjadi moment saling berkunjung antar-jemaat. Toh, dengan jumlah minoritas, jumlah jemaat tidak banyak dan sudah bertemu dalam perayaan Natal di gereja (yang biasanya disertai acara makan-makan). Jadi, kalaupun ada kue di rumah, jumlah maupun jenisnya terbatas.  


Berbeda dengan pengalaman saat tinggal di Sumatra Utara (Karo-Siantar-Medan), saat Natal, saya sering dapat pertanyaan baik dari teman seiman maupun tidak seiman, yaitu : “mana kuenya?”


Meski hanya pertanyaan “basa-basi”, tetap saja “gegar budaya” saat kali pertama mendengar. Lha wong saya tidak biasa sedia kue. Namun, mengingat demografi agama di Sumut, pertanyaan itu mudah dipahami. Walau bukan mayoritas, persentase agama Kristen-Katolik di Sumut cukup besar. Natal dan Tahun Baru menjadi moment pulang kampung atau kumpul keluarga besar laiknya Lebaran. Acara kumpul bersama, pasti melibatkan aneka makanan ^-^


Berbeda dengan kebiasaan yang saya jalani dari kecil. Di rumah emak saya, banyak kue dan makanan itu bukan saat Natal, tapi justru saat LEBARAN! Iya benar Lebaran. Saat Lebaran, kami bisa turut dalam tradisi silaturahmi, saling berkunjung ke tetangga maupun saudara.  


Kata saling sengaja saja tebalkan karena memang demikian, kami berkunjung dan juga dikunjungi.  Di kampung saya,  saling kunjung Lebaran sudah menjadi tradisi lintas agama yang berjalan tanpa ada saling keberatan. Wajar jika di rumah-rumah kami yang Kristiani pun berjajar toples kue-kue Lebaran. Jumlah dan jenis kue justru lebih lengkap dibandingkan saat Natal.


Apakah itu aneh?


Tentu tidak bagi saya yang memang bertumbuh dalam kebiasaan tersebut. Namun, ternyata terdengar sedikit aneh ketika saya ceritakan pada beberapa orang. Aneh atau tidak aneh memang relatif. Tergantung kebiasaan. Pepatah lama, lain ladang lain belalang.


Nah, cerita wajik Bandung saya bermula dari kebiasaan berlebaran.


Sejujurnya, saya sudah cukup lama absen dari tradisi Lebaran di kampung. Masalahnya, kami harus memilih, mudik saat Natal atau Lebaran? Ini kaitannya dengan bujet. Mudik setahun dua kali akan membuat payah keuangan rumah tangga. 


Biasanya, kami memilih mudik saat Natal. Pilihan logis dengan konsekuensi kami tidak berlebaran di kampung, yang berarti kami jadi sangat-amat-jarang bertemu saudara jauh. Note : keluarga besar saya ada yang Kristen ada yang Muslim. Untuk berkunjung atau dikunjungi dan bertemu saudara-saudara jauh, moment-nya lebih pas saat Lebaran.


Saat masih di Siantar, kami tinggal di pemukiman Batak Kristiani. Wajar jika Idul Fitri terasa sepi. Secara kepercayaan bukan masalah, tapi ada yang terasa tidak biasa. Jadi kami biasa pergi untuk “mencari Lebaran.”  


Kami punya satu tujuan wajib, yakni ke Silenduk, kampung yang saya sebut di awal. Di Silenduk ada Mbah Sardi dan keluarganya. Mbah Sardi adalah transmigran dari Jawa di era saya belum lahir. Mbah pernah bercerita tentang asal-usulnya, tapi saya tak ingat persis.  Di Silenduk, mbah beranak-cucu dan membangun hidup.


Awalnya, hanya BJ yang mengenal keluarga mbah karena urusan pekerjaan. Singkat cerita, saya juga diperkenalkan dan hubungan itu meningkat menjadi sangat dekat. Mbah Sardi suami-istri sudah seperti orangtua sendiri. Praktis, anak-cucu mbah menjadi seperti keluarga meski tak ada hubungan darah.  


Dengan tingkat hubungan seperti itu, berlebaran ke tempat mbah adalah wajib.


Silenduk adalah kampung yang banyak dihuni orang Jawa dengan bahasa dan beberapa tradisi yang masih bertahan. Jadi, lebaran di rumah  mbah serasa lebaran di kampung sendiri.


Tamu-tamu datang-pergi silih berganti, makanan spesial di meja makan, juga deretan toples berisi kue di meja depan. Kali pertama Lebaran di sana, Ale masih balita. Dari sekian jenis kue di meja, entah mengapa dia memilih wajik Bandung sebagai favoritnya. Sebagai anak kecil, mengapa dia tidak memilih kue-kue lain, yang mungkin lebih menarik secara visual? Atau justru warna-warni pembungkusnya itu yang menarik bagi dia?


Entahlah.


Saya sendiri belum pernah membikin wajik Bandung. Bahkan emak di kampung, juga jarang membuat wajik Bandung (emak lebih suka memasak wajik biasa, yang hanya perlu diratakan dalam nampan, lalu dipotong-potong untuk dimakan). Membuat wajik Bandung itu njelimet saat tahap mengemas. Harus cermat memotong-motong kertas, lalu telaten membungkus agar ukurannya pas.


Gara-gara Ale suka, kami pulang dari Lebaran di rumah mbah dengan membawa wajik Bandung.  Sejak saat itu, setiap hari raya, keluarga mbah selalu membuat wajik Bandung dalam jumlah ekstra. Selalu ada bagian khusus untuk Ale, juga Elo yang ternyata juga mengikuti kesukaan abangnya.


Yang terjadi kemudian, kami tidak hanya menerima pemberian wajik Bandung saat Lebaran, tetapi juga saat Natal dan Tahun Baru. Bahkan, seringkali tidak hanya wajik, tetapi juga kue-kue lain. Pernah ada satu moment Natal dan kami tidak pulang kampung. Keluarga mbah membuatkan aneka kue bagi kami. Deretan toples di meja kami,  semua isinya berasal dari mbah.


Jika kami pulang kampung, keluarga mbah tetap membuatkan wajik Bandung untuk kami bawa. Bahkan setelah kami pindah dari Siantar ke Medan, kebiasaan itu tidak berhenti. Wajik Bandung dipaket menggunakan bus antar-kota. Jumlahnya selalu banyak sehingga  cukup untuk dibagikan ke teman dan tetangga.


Tahun ini, kami dan keluarga mbah sudah sangat jauh berpisah jarak. Untuk pertama kali sejak beberapa tahun ini, wajik Bandung absen dari Natal kami. Namun, saya tahu, kasih sayang yang biasanya beserta wajik Bandung tidak ikut absen. Dia tetap hadir meski tidak teraba dan terkecap dalam wujud fisik kebendaan.


Ale dan Elo sangat mungkin akan berkembang dalam selera makanan. Mereka akan mengenal lebih banyak jenis-jenis santapan. Saat ini, wajik Bandung sudah tertera dalam daftar pengalaman mereka tentang jenis-jenis makanan. Wajik yang tak sekedar kudapan, tetapi juga perekat batas hubungan darah dan perbedaan iman. 





 

 ---------------------------------------

 *londo : apapun bangsanya, asal bule disebut londo ^-^



Prev : Natal 1945. Natal 2020

 

 

   

6 komentar untuk "Natal Tanpa Wajik Bandung"

  1. Kalau di Jogja sekarang kue hidangan lebaran dan natal hampir sama. Kastengel, kue salju, nastar. Paling yang membedakan kalau lebaran ada ketupat dan opor...he3

    BalasHapus
    Balasan
    1. ketupat dan opor memang lebaraaaaan bangeeet hihihi

      Hapus
  2. Ohhh jd wajik Bandung itu yg dibungkus kertas minyak warna warni ya mbaaa??? Aku tauuuu kalo itu, cm selama ini ga tau namanya wajik Bandung. Aku nyebutnya tape Batak wkwkwkwkwkw, soalnya memang ini banyak disediain Ama keluargaku di Sibolga kalo sdg lebaran :D. Rasanya menurutku manis kayak tape tapi kering. Aku lumayan suka, tp memang ga semua enak sih. Tergantung yg bikin :D. Udh lamaa aku ga makan ini. Lah wong udh 2 thn LBH ga mudik. Tp mudik2 kemarinpun ga nyicipin jg Krn pulang ke Sibolga pas bukan momen lebaran. Jd ga ada yg nyediain :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. tape ada juga yg dibungkus kecil warna warni mbak fanny. Tapi memang tape, bukan wajik. kalau di jogja kayaknya tape bentuknya lebih kotak. mungkin karena diiris2 baru dikemas

      Hapus
  3. wah udah lama gak makan wajik, jadi pengen nyari di pasar besok :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahah senangnya...di tempat saya belum nemu wajik bandung nih mbak.

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)