Natal 1945. Natal 2020









Memang keras dan keji hukum hutan jati. Saya keluarkan buku notes kecil yang selalu saya bawa, sebuah hadiah dari ayah, ketika masuk tentara, dan mengolak-alik halaman-halaman yang bertepi kelabu-abu dan kotoran, mencari tanggal hari kala itu. Selasa..Rabu..Desember.. nanti dulu, kemarin dulu ketika..iya..lalu 22, 23..ya sekarang mestinya 24 Desember 1945, tahun yang ramai ini. Heh, mengapa 25 Desember dicetak merah??

(Natal 1945)

Saaya membaca Natal 1945 dalam “Rumah Bambu”, buku kumpulan cerita pendek karya salah satu penceriata favorit saya, Romo YB Mangunwijaya. Pertama kali diterbitkan tahun 2000 oleh Kepustakaan Populer Gramedia, buku itu merupakan kumpulan cerpen pertama dan terakhir Romo Mangun. Saya memiliki cetakan keempat yang terbit tahun 2003 saat masih kuliah di Solo. Selanjutnya, Rumah Bambu menjadi salah satu buku yang ikut kemanapun saya berpindah tempat tinggal.

Natal 1945 dalam cerita Romo Mangun berwarna suram, bahkan gelap. Hanya beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, situasi masih genting dan kacau. Masih banyak perang dengan tentara NICA sebagai bukti jika Belanda belum mengakui kemerdekaan republik Indonesia. Ironisnya, di sisi lain, juga terjadi kontak senjata antar sesama anak negeri. Romo Mangun mengungkapkannya dalam sepotong dialog “.....memang susah kalau sudah sampai bangsa membunuh bangsanya sendiri...” (Situasi yang masih relevan hingga kini?)



Thalib, si aku dalam cerita, adalah prajurit muda berusia belasan. Cukup terpelajar pada masa itu, yakni sekolah setingkat SMP. Bersama beberapa temannya, ia terdampar di Mranggen, salah satu markas prajurit yang tak ada sedikit pun kenyamanan. “...daerah jijik berlumpur, di tengah-tengah rawa-rawa yang berdesing nyamuknya berjuta-juta itu dan yang menggigit gatal kulit kami kotor berbau ini....makan dari dapur umum dengan nasinya yang dibungkus daun jati (daun pisang saja mereka di sini tak punya)..sudah berminggu-minggu lauk-pauknya hanya tempe busuk saja...” (hal 176)

Semua serba busuk di sini. Semua bejat. (hal 181)

Situasi karut-marut dan menjemukan membuat Thalib hampir lupa tanggal. Bahkan sesudah ingat pun, toh tak ada “kabar gembira.” Sebaliknya, justru datang perintah bangsat dari komandan yang tak boleh dibantah.

Di malam Natal, Thalib dan beberapa prajurit lain harus mengantar jenazah seorang prajurit ke Kedungjati. Mereka pergi menggunakan truk busuk, melewati jalan buruk, dengan membawa jenazah yang sudah berumur tiga hari. Sungguh suatu horor tersendiri.

Satu-satunya penghiburan hanyalah Nani. Gadis cantik sekolah menengah tinggi (setingkat SMU) yang terpisah dari keluarganya gara-gara huru-hara. Nani yang terbelit kesedihan tetapi rajin membantu di dapur umum. Malam itu, untuk suatu keperluan, Nani ikut ke Kedungjati dan duduk di bagian kursi depan.

Thalib, walaupun ingin dekat Nani, tapi memaksa diri di belakang atas nama keberanian lelaki. Hampir semalaman ia harus menekan rasa takut karena berdekatan dengan jenazah. Upaya keras yang ternyata hanya dibalas candaan bernada ejekan dari Nani, sehingga Thalib kelepasan bicara. Kata-kata tajam dan menusuk pada Nani tak tertahan keluar dari mulut Thalib. Kata-kata yang kemudian dia sesali.

Situasi menjadi canggung, tetapi justru mengantar pada obrolan tentang Tuhan (hal 199). Ketidaktahuan bernada keraguan dan terpaksa diikat kepasrahan. “Yaa, kalau sudah bicara tentang Tuhan, saya tidak bisa membantah apa-apa,” kata Thalib.

Tokoh Darman berucap, saya tidak berkeberatan orang minta tolong pada Tuhan. Tetapi praktis tidak begitu efektif”.

Masih di halaman 199, Thalib membatin menggunakan kata ganti kami : ......kami tidak pernah merasa tenteram, jika Tuhan dimasukkan dalam percakapan. Kami laki-laki, lagi “terpelajar”, dan bagi kami agak canggung bila ada yang mulai dengan Tuhan. Ucapan batin yang ditimpal tokoh Pujiyono, "saya memang tidak pernah shalat. Tetapi ibu tekun berdoa untuk saya."

Mendengar keraguan akan eksistensial Tuhan dari bibir para prajurit belia, Nani berucap lembut : “Seandainya tidak ada Tuhan, mungkin saya sudah patah harapan bertemu lagi dengan orangtua dan adik-adik saya...”

Natal 2020

Menyusul Idul Fitri 2020, Natal tahun ini juga berlangsung dalam suasana berbeda. Walau tak ada kontak senjata seperti cerita Natal 1945, rasanya Natal 2020 memiliki situasi senada. Perang dengan pandemi Covid-19 telah mengacaukan kenormalan dunia (apakah berlebihan jika gelut melawan COVID-19 ini disebut Perang Dunia dalam bentuk yang berbeda?).

Perayaan Natal di seluruh penjuru bumi tak lagi gemerlap seperti tahun-tahun sebelumnya. Kalaupun ada perayaan Natal, pasti dilakukan dalam skala sangat terbatas, itupun dengan syarat menerapkan protokol kesehatan. Bahkan, mungkin untuk pertama kalinya, banyak acara Natal dilakukan secara online seperti halnya pekerjaan dan pembelajaran sekolah.

Pun bagi keluarga kecil saya, COVID-19 menjadi salah satu alasan untuk tidak pulang kampung seperti biasa. Anak-anak sangat kecewa, mereka sudah sangat rindu pada “rumah simbah” dengan segala suasananya. Terutama Ale yang sudah punya agenda khusus jika pulang tahun ini. Berulangkali dia mengungkapkan kecewa-nya secara verbal. Bahkan setiap dari kami terlontar sesuatu yang mengingatkan pada “batal pulang”, dia langsung menyergah : “jangan ingatkan.”

Batal pulang dalam kondisi masih adaptasi di daerah baru adalah sisi cerita yang lain. Pindah dalam situasi pandemi, kami sama sekali belum pernah ke gereja (fisik). Berkaca dari beberapa kali pengalaman pindah, “menemukan” (atau “dipertemukan?”) dengan sebuah komunitas gereja yang cocok itu tidak serta merta. Sejauh ini, kami juga belum punya sahabat sepersekutuan.

Bagaimanapun, pandemi juga membuat lingkaran sosial kami lambat terbentuk. Tak ada Natal yang turut kami rayakan bersama, walaupun hanya dalam kalangan terbatas. Natal hanya kami rayakan berempat, di rumah saja. Setidaknya, dengan kemudahan komunikasi seperti sekarang, kami masih bisa saling sapa dengan keluarga dan sahabat-sahabat di kejauhan.

Sedih?

Jelas saja ada sedihnya, saya kan bukan wonder-woman ^-^. Sedih adalah perasaan manusiawi yang ternyata tidak boleh mati-matian saya tolak. Walau memang, tidak boleh berlarut-larut karena, sedih atau bahagia adalah pilihan. (Haha, kata-kata bijak yaaaa....praktiknya kadang saya masih membiarkan diri berlama-lama menye-menye. Sadar jika itu pilihan yang salah, tapi begitulah. LOL).

Namun jujur, saya merasa bisa lebih menghayati suasana Natal yang sejatinya tidak serupa pesta dunia. Natal yang tidak banyak gemerlap cahaya, tetapi hanya pelita di kandang domba. Bahkan, malam Natal adalah malam payah, setidaknya bagi Bapa Yusuf dan Bunda Maria yang berjuang mencari tempat penginapan. Upaya dengan ending yang (secara manusia) sungguh tidak menggembirakan : kandang domba untuk sebuah proses melahirkan.

Harapan

Beberapa hari lalu, saya mencari cerita natal anak di internet. Salah satu hasil pencarian saya adalah cerita tentang empat lilin. Saya lupa menyimpan tautan pertama yang saya temukan. Begitu kembali mencari dengan kata kunci “cerita empat lilin”, ternyata banyak sekali. Cerita ini bertebaran dengan berbagai macam versi.

Saya persingkat dari salah satu versi cerita empat lilin, sebagai berikut :

Tiga lilin pertama masing-masing bernama damai, iman, dan cinta. Satu per satu, mereka memadamkan diri karena kecewa pada manusia yang tak lagi mampu menjaga ketiganya. Yang tersisa hanya tinggal lilin keempat. Puji Tuhan, ia tak turut memadamkan diri bahkan kembali menyalakan ketiga temannya.

Lilin keempat itu bernama HARAPAN.

Saya jadi teringat Nani : “Seandainya tidak ada Tuhan, mungkin saya sudah patah harapan...”


Selamat Natal 2020.
Kiranya lilin pengharapan itu tetap menyala pada teman-teman dan juga saya sekeluarga.



-----------------------------------------------------------

credit :



http://www.kisahinspirasi.com/2012/08/kisah-empat-lilin.html







46 komentar untuk "Natal 1945. Natal 2020"

  1. Aku jadi tertarik pengen baca nuku Natal 1945 ini. Hmmm... iya mbak ternyata kurang lebih sama ya. Bedanya musuh kita kali ga kelihatan. Meski ga jadi mudik semoga tidak membuat kehilangan bahagianya perayaan natalnya ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya mudik memang bukan esensi hari raya ya kan Mbak hehehe
      tapi kadung jadi habbit :)

      Hapus
  2. Semoga Lilin ke empat selalu ada ya, agar bisa menerangi lilin2 yang lainnya.
    Tahun ini memang beda banget, semoga saja kita dapat mengambil hikmahnya yaa, selamat hari natal semoga bisa merayakan hari raya idul fitri, natal berkumpul dengan keluarga tahun depan. Aamin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiiin. Bener mbak, yang tahun kemarin udah ga mudik lebaran, pasti sedih banget kalau harus ga mudik lagi.

      Hapus
  3. wah gak kepikiran sama aku sama sekali ternyata tahun ini hampir mirip kondisinya saat 1945, yes tahun ini lebih ke melawat seonggok virus yang beraninya ramean nyerang manusia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kan. Sama2 perang, beda musuhnya saja kan Mbak.

      Hapus
  4. Semoga bisa mengambil hikmah dari apapun yang terjadi selama natal di masa pandemi ini.

    BalasHapus
  5. Selamat merayakan natal... meskipun gak bisa merayakan seperti sebelumnya..gapapa ya..yang penting sehat semua..dan tetap dalam lindungan Nya... Amin....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mba Diane. Sehat2 juga mbak Diane dan keluarga

      Hapus
  6. Natal 1945 dengan Natal 2020 ... suasananya senada ya mbak. Tahun 1945 musuhnya kelihatan, namun di 2020 tak nampak tapi mematikan.
    Semoga damai dan sehat selalu bersama keluarga, aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Damai dan sehat untuk Mbak Nining dan keluarga juga :)

      Hapus
  7. Uhhhhhh pengin pelukkkk
    Kabar baiknya, kita selalu masih punya harapan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Peluuuukan virtual Mbak Wid :)
      dan sama2 pegang lilin keempat

      Hapus
  8. ah iya ya mbak
    sama seperti lebaran tahun ini, natal tahun ini juga kita harus bersabar
    merayakan dalam situasi yg tak biasa
    tapi harus tetap bersyukur dan berharap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga Lebaran tahun depan (yang tinggal hitungan detik) bisa silaturahmi tanpa was-was.

      Hapus
  9. Peluuk Mbak, aku pun sedih karena nggak bisa mudik sudah setahun huhu kangen banget sama ortu tapi memang lihat situasinya lebih aman di rumah dulu..semgoa situasi lekas membaik ya Ale biar bisa main ke rumah Simbah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin Mbak Dewi. Semoga Lebaran ini bisa mudik yaaa....bakalan sedih banget kalau kembali terhambat mudik

      Hapus
  10. Perayaan keagamaan biasanya waktunhya kita berkumpul ya tapi tahun ini rasanya berbeda. Aku pun Idul Fitri kemarin gak pulang, hangus semua tiket-tiket.
    Semoga tahun depan bisa lebih baik lagi dan normal seperti sebelumnya. Aamiin
    Oh ya boleh juga tuh mbak nanti kalau linknya sudah ketemu dishare ya mau baca juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haduh mbak Lid, sampai hangus ya tiketnya. Ini makanya kemaren mau beli tiket ragu2. Tunggu2 sampai hari2 mendekat dan ternyata keputusan kami ga mudik.

      Hapus
  11. Semoga segala keberkahan selalu bersama ya mba. Semoga tahun depan. Natal seperti normal lagi. Kangen pastinya bisa berkumpul bareng ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin mbak. Semoga Lebaran 2021 sudah membaik juga situasinya

      Hapus
  12. Sedih adalah perasaan manusiawi yang ternyata tidak boleh mati-matian saya tolak. Walau memang, tidak boleh berlarut-larut karena, sedih atau bahagia adalah pilihan.

    Mbaaa, aku sukaaakk kalimat ini. Karena memang happiness is a matter of choice ya mbaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cuma yaaa...kadang aku suka geje sih. Sadar pilihan salah kalau lama2 enye2 tu. Tapi ya terus wae wkwkwkkw

      Hapus
  13. Meski kejadiannya berbeda, tapi Natal 2020 memang hampir sama kondisinya dengan 1945. Semoga tahun depan bisa dilalui dengan penuh suka cita dan damai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin mbak Erry. Doa yang sama untuk lebaran 2021

      Hapus
  14. Sedih ya mbk rasanya di hari istimewa tidak bisa berkumpul dengan keluarga, apalagi nggak bisa pulang kampung. Semoga pandemi segera berakhir, aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiiin Mbak is. Harapan kita semua supaya pandemi ini segera tamat

      Hapus
  15. Sedih banget, semoga tahun depan bisa lebih dobel bahagianya ya mbak dan si koro pergi biar kita semua bisa mudik dengan bahagia tanpa rasa takut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin Mbak Dwi. Si koro2 ini emang bikin abnormal hehehe

      Hapus
  16. Hidup tak selamanya terang dan mulus, adakalanya angin berhembus meredupkan “Lilin-Lilin” dalam diri kita. Dalam situasi dan kondisi sesulit apapun, jangan sampai kita putus Harapan, terutama harapan kepada Allah SWT…

    Iman bisa saja tergerus, Cinta lama-kelamaan bisa pudar, Semangat untuk Berubah pun bisa sekarat, namun yang tidak boleh mati dalam diri kita adalah HARAPAN (HOPE).

    Selama masih ada HARAPAN dalam diri kita, maka kita bisa menghidupkan kembali Iman yang luntur, Cinta yang pudar, dan semangat Berubah yang hilang dari diri kita. Harapan adalah Lilin Terakhir yang harus tetap menyala

    suka banget dengan cerita 4 lilin ini, terimakasih yaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mak Tanti. Saya juga terberkati oleh cerita itu. Banyak banget di inet, tapi saya baru nemu heheheh

      Hapus
  17. Semoga senantiasa dilimpahkan nikmat damai, iman, cinta dan harapan.
    Selama masih diberi itu semua, in syaa Allah kita bisa melewati masa-masa ini dengan bahagia.

    BalasHapus
  18. Tahun yang banyak cerita dan hikmah ya mba bagi kita semua.. Semoga pandemi ini cepat berlalu agar kedamaian dan keseimbangan kembali terjaga. Dan mungkin benar, sejarah akan terulang... hanya dalam varian yang berbeda...

    Semoga kita semua selalu terlindungi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sejarah akan terulang... hanya dalam varian yang berbeda...
      Mungkin saat ini varian rasa paria ya mbak.
      Rasanya pahit...harus pinter2 mengolah supaya enak hehehehe

      Hapus
  19. Sesekali "menikmati" sedih agar kita bisa punya harapan untuk berbahagia sekaligus mengenang bahwa ada banyak kebahagiaan yang telah kita nikmati sebelumnya dan nanti.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju. Belajar mengolah dan menikmati seni kesedihan :)

      Hapus
  20. Memang tahun 2020 jadi super spesial karena memang banyak sekali yag berubah dan kita harus bisa adaptasi dengan baik agar bisa tetap survive. Yang penting tidak putus harapan

    BalasHapus
  21. Natal tahun ini pasti sangat berbeda dari natal tahun sebelumnya ya. Banyak temenku juga yang gak bisa pulang kampung dan gak bisa ngumpul dengan keluarga. Sedih pastinya. Tapi demi kebaikan semuanya, ini harus dilakukan. Semoga tahun depan sudah pulih dan bisa berkumpul kembali. Sehat-sehat selalu kita semua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sehat kita semua. amiin mbak. Mbak Nia lebaran kan. Semoga suasana Lebaran 2021 tak lagi seperti 2020

      Hapus
  22. Situasinya berbeda, tapi sama-sama menghadapi musuh. Dulu musuhnya terlihat, sekarang musuhnya kasat mata.
    Cuma bisa berdoa, semoga tahun depan virus segera musnah dan manusia semakin siap menghadapi wujud virus lainnya.
    Aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. dan perangnya se-dunia ya mbak. Tahun cantik yang penuh perjuangan

      Hapus
  23. Walau natal kali ini teman-teman saya banyak yang belum ada kesempatan untuk mudik atau pulang kampung, tapi kebersamaan dengan teman-teman di rumah ternyata bisa jadi obat rindu tersendiri untuk mereka. Semoga kita bisa segera silaturahmi dengan keluarga besar yang ada di luar kota ya Mak :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak honeyva. Pengennya sih Lebaran ini pulang ganti batal mudik natal

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)