Siang di Paotere


Siang teramat terik. BJ, saya, Ale, dan Elo tiba di kawasan Pelabuhan Paotere. Bersyukur, dari rumah telah bersiap dengan pakaian serba panjang. Juga masker yang menutup dari bawah dagu hingga dekat garis mata. Jika tidak, sinar matahari pasti akan membuat banyak area kulit terasa tersengat. Kami memang datang pada waktu yang tidak tepat.

Beberapa artikel yang saya baca, merekomendasikan datang ke tempat ini pada saat senja. Pantai dan senja, ini memang paket combo favorit banyak orang.  Tempat dan waktu di mana kita bisa melihat matahari kemerahan yang akan “jatuh” ke garis cakrawala. Tak ketinggalan awan-awan jingga yang akan menambah cantik suasana. Juga dihiasi pemandangan kapal-kapal kayu yang sedang bersandar.

Perfecto....

Pada orang-orang tertentu, pantai dan senja mengilhamkan karya yang tak lekang oleh masa. Seperti cerita tentang “sepotong senja untuk pacarku,” yang ditulis oleh maestro sastra Seno Gumira Ajidarma. Memotret senja lalu mengirimkan pada pacar yang tak turut serta, rasanya juga so sweet kan? Sekedar memotret senja, -bukannya mengerat- tentu tak akan membuat seseorang dikejar-kejar aparat.*

Tapi sekali lagi saya tulis, kami datang pada waktu yang tidak tepat. Ini sudah kami sadari sejak berangkat. Tapi satu dan dua pertimbangan, membuat kami tetap pergi pada waktu yang kurang asyik. Ini memang bukan untuk mencari suasana yang cantik. Tapi sekedar “berkenalan” dengan Paotere, pelabuhan legendaris  di Kota Makassar.

pic by BJ

Dari beberapa artikel yang saya baca, semua versi tentang sejarah nama Paotere mengacu pada “tali” sebagai arti kata otere. Alkisah, dulu banyak pelaut yang berlabuh di tempat ini. Mereka adalah ahli dalam pembuatan tali. Di masa itu, tali adalah komponen penting dalam aktifitas terkait kapal. Dari situlah nama Paotere berasal.**

Paotere terletak sebelah utara Kota Makassar, tepatnya di Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar. Saya benar-benar masih buta peta jejalan di Kota Makassar. Saya hanya mengingat, bahwa tempat itu tak terlalu jauh dari pintu keluar jalan tol. Aroma laut langsung menyergap begitu kami membuka pintu mobil untuk mampir di minimarket.

Titik di peta google menunjukkan kami telah sampai di tujuan. Tapi saya dan BJ tak melihat penanda untuk masuk pelabuhan. Di ruas jalan yang sempit dan sibuk, sulit untuk menyetir teramat pelan guna melihat-lihat keadaan.  Namun bersyukur, kami berhenti pada tempat yang tidak sepenuhnya salah. Tepat di sebelah minimarket tempat kami membeli makanan ringan, ternyata adalah Rumah Makan Paotere yang banyak ditulis sebagai salah satu tujuan wisata kuliner Kota Makassar. Keputusan yang bagus untuk lebih dulu mengisi perut sekalian bertanya-tanya. Tentang pengalaman bersantap di rumah makan ini, mudah-mudahan saya bisa menjadikannya sebagai tulisan tersendiri.

Dengan perut kenyang, kami menuju pintu masuk Pelabuhan Paotere. Sedari awal, saya tekankan pada anak-anak, jika ini bukan pantai untuk mandi-mandi (sejak Covid – 19 “menutup” kolam renang, mereka sudah kepengin betul main air di luaran). Tapi kami akan melihat kapal Pinisi yang sebelumnya hanya ada di buku-buku atau layar gawai.

kapal pinisi (pic by thefolio.co.id)

Saya bukan anak pantai. Saya lahir di kampung dengan kondisi geografis yang tanggung.  Bukan laut, bukan juga gunung. Kampung saya adalah daerah bukit, tempat di mana melihat kapal di sana adalah hal yang mustahil. Bahkan di zaman air bah, kapal Nabi Nuh tidak mendarat di pegunungan nusantara kan? Dalam perjalanan hidup, saya juga tidak pernah benar-benar dekat dengan laut.

Jadi, rasanya memang agak ganjil ketika menyanyikan lagu “nenek moyangku orang pelaut.” Mungkin seganjil anak-anak di pedalaman yang belum pernah kemana-mana lalu diajari lagu “naik kereta api”. Bukan bermaksud “durhaka” pada sejarah bangsa, tapi karena memang saya minim pengetahuan tentang dunia maritim.

Sungguh, tahu apa saya tentang kapal pinisi? Saya ragu bisa menjawab dengan tepat jika Ale dan atau Elo bertanya “yang mana kapal pinisi?” Idealnya, jalan-jalan semacam ini memang harus ditemani pemandu yang akan menjawab pertanyaan demi pertanyaan.  Untungnya, anak-anak tidak bertanya. Mereka sudah cukup sibuk dengan pemandangan kapal yang ada.

Kapal-kapal kayu berukuran besar bersandar rapat di dermaga (tanpa layar terkembang, apakah itu yang disebut kapal pinisi?). Saya sampai berpikir, bagaimana cara parkir kapal sedemikian dekat satu sama lain?? Ah ya, dasar anak bukit. Coba anak pantai, pasti ini pengetahuan biasa, sebiasa matahari terbit dari timur. 

parkir rapat
  

menunggu dimuat

mengangkut ke darat

memuat ke kapal

Sementara kami melihat-lihat, kuli-kuli angkut bekerja keras. Di bawah matahari yang memanggang, mereka mengerahkan tenaga hingga bercucuran keringat. Pada satu kapal, mereka mengangkut sak-sak semen dari truk ke kapal. Sementara di satu kapal lain, mereka memanggul karung dari kapal ke truk (sepertinya berisi bawang).

Siang itu, aktifitas bongkar muat terlihat tidak terlalu sibuk (saya sempat membaca, sejak pandemi aktifitas pelabuhan berkurang). Di beberapa kapal, orang-orang --yang semuanya laki-laki-- hanya duduk bercakap-cakap. Mungkin mereka menunggu barang untuk dimuat, atau entahlah.

menunggu? atau istirahat?

Dalam hati saya mendaraskan permohonan. Agar mereka selalu sehat dan kuat. Siapa yang tahu seberapa banyak kebutuhan yang harus dipenuhi dari bayaran tenaga mereka. Kebutuhan yang tak pernah mau kompromi, selalu menuntut untuk dipenuhi.

Di sisi pelabuhan  yang lain, kami melihat kapal-kapal dengan ukuran lebih kecil. Juga kapal feri dengan sekian kendaraan terparkir di dalamnya.  Saya memerhatikan sebuah kapal kecil, dengan orang-orang yang tampak habis belanja. Dari sayur-mayur hingga lemari (iya, lemari!!) siap untuk diangkut ke dalam kapal. Entah menuju ke mana, saya merasa segan untuk bertanya. Di seputar Kota Makassar saja, banyak pulau-pulau kecil yang tak akan kita temukan dalam peta –kecuali peta spesifik, tentunya.

Hingga sekarang, Paotere memang pelabuhan untuk perniagaan. Saat ini, Paotere juga adalah tempat pelelangan ikan.  Tapi dulu, Paotere lebih dari sekedar urat nadi perdagangan. Paotere adalah pelabuhan andalan Kerajaan Gowa-Tallo yang berjaya pada pertengahan abad belasan. Dari Paotere ratusan kapal pinisi pernah diberangkatkan untuk sebuah misi perang ke Malaka.***

Siang itu, dengan pengetahuan sejarah yang terbatas, saya mencoba mengarahkan imajinasi jauh ke masa yang telah lewat. Ketika pelabuhan ini demikian ramai. Tiap hari terdengar hiruk-pikuk pedagang-pedagang dari mancanegara yang membawa bermacam barang dan warna budaya. Saya juga mencoba membayangkan suatu waktu, ketika kapal-kapal kayu yang gagah bersiap untuk pergi. Sekian pinisi berisi prajurit sekaligus pelaut yang gagah berani. Pasukan perang dengan senjata terpasang dan nyali yang tinggi.

Sayang sekali, bayangan saya terasa cekak. Teramat singkat, bahkan jika dibandingkan dengan durasi film pendek. Ternyata, walau sekedar membayangkan, kita membutuhkan pengetahuan.

 

Referensi :

*https://medium.com/@superherru/surat-cinta-yang-berisi-potongan-senja-3dbe7b68fc58

**https://news.okezone.com/read/2019/03/15/609/2030691/paotere-pelabuhan-legendaris-yang-tetap-eksis-jadi-gerbang-ekspor-komoditi-kawasan-timur

***https://www.cakapcakap.com/mengenal-sejarah-pelabuhan-paotere-makassar-lokasi-pelelangan-ikan-murah/


51 komentar untuk "Siang di Paotere"

  1. Aku paling senang deh kalau motret kapal-kapal gini mbak, seru ya pasti bisa melihat keindahan matahari terbenam. Entah kenapa aku senang sekali dengan warna langit senja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu memang pemandangan favorit banyak orang ya Mbak

      Hapus
  2. Haha untung Ale dan Elo nggak nanya yang mana kapal pinishi ya. Kalau pun nanya, ntar bukain google aja.

    Emang ya, hal yang biasa buat mereka, bisa jadi pengetahuan luar biasa bagi kita yang belum pernah melihat dan mengalaminya

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe..maksudnya ini mau mencocokkan antara info dari gawai dengan realita mbak Nanik :)

      Hapus
  3. Ini pengalaman yg kereenn banget buat anak2 ya Mak.
    Bisa mengajarkan arti kerja keras buat mereka juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup Mak...makin tau kalau cari uang itu bagi sebagian orang bener2 kerja kerasssss

      Hapus
  4. Saya sudah lama banget gak ke pelabuhan, pengen deh nanti mampir ke Paotere jika ke Makassar karena adik saya juga tinggal di sana saat ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuk Mbak...dateng sore/pagi biar gak kepanasan :)

      Hapus
  5. Saya pernah mampir ke Pelabuhan Paotere. Suka melihat aktivitas kapal-kapal pengangkut, yang besar dan kecil. Jadi ingat lagu nenek moyangku seorang pelalut. Dan mampir makan seafood di sebuah resto. Kenangan yang memikat bersama suami. Sampai sekarang foto-fotnya masih lengkap tersimpan di komputer :)

    BalasHapus
  6. Seru sekali melihat aktivitas di pelabuhan apalagi mengajak anak-anak, mereka bisa belajar banyak hal...Akan lebih seru kalau dapat kesempatan untuk melihat langsung isi kapalnya gimana ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya...sayangnya ga bisa (tepatnya ga minta izin juga) untuk masuk

      Hapus
  7. Enggak salah waktu datangnya, Mbak Lisdha, mungkin kalau sudah senja enggak seramai itu kegiatan bongkar muat barang pun melihat para kuli angkut di pelabuhan. Makassar ternama dengan pelaut-pelaut andalnya, sungguh sebuah pengalamana berkesan bisa mengunjungi salah satu pelabuhan besarnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha..Mba dian bisa aja kasih positip vibe :)

      Hapus
  8. Aku pun sama hidup masa kecil dikelilingi gunung, melihat kapal beginian bak jejeritan histeriis wooow gede bangeeeet. Pernah beberapa kali pake kapal Feri dan sungguh melihat kehidupan di Pelabuhan yang super duper punase pwool, memberikan kekuatan pada mereka yang bekerja di sekitaran sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha...meski bukan pengalaman pertama, anak2 selalu suka ke pelabuhan

      Hapus
  9. Kalau di Jakarta, bisa melihat kapal-kapal besar begini di pelabuhan Sunda Kelapa. Saya senang jalan-jalan ke sana. Semoga kalau suatu saat ke Makassar juga bisa lihat ke sini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah...saya nih belum pernah ke Sunda Kelapa

      Hapus
  10. Wah, jalan-jalan ke pelabuhan ternyata banyak mendapatkan hal menarik ya. Kebetulan adik saya sekarang tinggal di Makassar, nanti saya rekomendasikan untuk main ke Pelabuhan Paotere ah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menarik atau tidak memang subyektif ya Mbak..Kalau datang ke tempat bersejarah begini, saya suka baca-baca dulu sih :)

      Hapus
  11. Kerajaan Gowa dan Talo itu seru banget dulu belajarnya... Tapi sekarang udah lupa... Iya ya mba.. menuliskan tentang senja, ditambah dengan kapal-kapal yang tiada henti dengan segala aktvitasnya bakal sangat menyenagkan ya.. Saya suka bau laut.. Bau kampung nelayan punya banyak cerita untuk digali,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Ira, belajar ttg kerajaan ini duluuu banget di pelajaran sejarah. Sekarang jadi lihat2 langsung peninggalan yg masih ada

      Hapus
  12. Saya juga hidup dan besar di lingkungan pegunungan. Jauh dari laut dengan pemandangan kapal-kapal pinisinya. Sepertinya kalau saya ke sana, juga akan terkagum-kagum dengan kapal-kapal yang besar dan gagah

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha tossss...sesama anggun (anak gunung)

      Hapus
  13. Betul mbak, aku setuju. Bahawa membayangkan pun, butuh pengetahuan. Dan pengetahuan, menyempurnakan pandangan. Aku juga ingin ajak anak2 ke pelabuhan setelah Covid mereda. Jika selama ini mereka hanya lihat di buku atau YouTube, setidaknya mereka tahu wujud aslinya gmn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huwa, iya nih saya datang saat masih pandemi. Tapi di pelabuhan tidak terlalu ramai plus setidaknya kami menerapkan protokol kesehatan pribadi. :)

      Hapus
  14. Baru tahu inI kak Aku sejarahnya Aku pikir Paotere sebagai salah satu tujuan wisata kuliner Kota Makassar Ada pelabuhanny Juga ya lengkap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup Mbak Utie..kalau bukan suami pindah ke sini, entah saya juga sampai sini apa enggak hehehhe

      Hapus
  15. Cantiknyaaa mba.. dan aku paling seneng bangeeet penandangan di laut...

    BalasHapus
  16. Terakhir liat proses pembuatan perahu pinisi di sulawesi selatan dekat tanjung bira

    BalasHapus
  17. Terakhir liat proses pembuatan perahu pinisi di sulawesi selatan dekat tanjung bira

    BalasHapus
  18. Sy jg lahir di kondisi geografis nan nanggung mba. Bukan pantai, bukan gunung, bukan kota, dibilang desa jg mboh lah.. Haha. Loh kok curhat. Tp serius kangen sm kampung halaman yg demikian. Apalagi disana sunyi gak ada tetangga. Bs main2 diluar pas covid. Semoga pas selesai covid bs pulang kampung n main di pantai..

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiiin..hihi covid memang menunda sekian banyak keinginan ya mbak

      Hapus
  19. wow, look! your picture, specialy in the sky. so beautiful and amazing. I do love see it

    BalasHapus
  20. Kalau saya pengen banget lihat cara pembuatan kapal pinisi. Btw sama Mbak, saya dibesarkan di daerah yang jauh dari laut jadi kawasan laut itu asing banget sebenarnya. Tapi mendengar lagu Nenek Moyangku seorang Pelaut berasa bangga aja sih karena dalam fikiran saya bahwa orang - orang dulu datang ke nusantara memang lewat laut. Baru akrab dengan laut pas pindah ke Batam. Hampir setiap minggu jalan ke laut dan merasakan bahwa betapa terikatnya kita dengan laut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perasaan ganjil itu karena anak cucu pelaut tapi kok minim pengetahuan maritim. Bahkan berenang pun enggak jago mbak hahahha

      Hapus
  21. Wah membaca sedikit sejarahnya saja ikut kagum dengan pelabuhan Paotere ini, Mbak. Bahagia ya sudah bisa berkenalan dengannya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha...apalagi kalau menyelami sejarahnya ya. Pasti tambah terpesona mbak

      Hapus
  22. Wah, aku baru tahu dengan Paotere ini. Bersejarah juga ternyata ya. Kalo lihat pelabuhan kayak gini, aku inget anak nomor 3. Dia tuh suka banget dengan perahu. Paling suka lihat perahu berjajar begitu. Walopun cuma via gambar di internet. Kebayang deh kalo dia lihat langsung. Bakalan exciting banget 😍

    BalasHapus
  23. Unik juga yaa...
    Bepergian ke suatu tempat yang belum punya memori sama sekali di sana.
    Jadi belajar banyak sama anak-anak.
    Aku juga terkagum-kagum sama kapal Pinisi Indonesia. Terlihat besar dan kokoh.
    Tapi ku takut naik kapal...heuheu~

    BalasHapus
    Balasan
    1. eh serius mbak? Kami pengen banget nih punya pengalaman pulkam naik kapal (oo coviddd segeralah berlalu)

      Hapus
  24. udah lama gak pernah mampir ke pelabuhan, kangen angin sepoi sepoi disana :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau pas kami dataang, walaupun ada angin sepoi tapi tetap terasa panas :)

      Hapus
  25. Kalo Ale dan Elo nanya gampang bukain google Mak buat cek kapal pinisi.

    Kalo saya lahir di kaki gunung, ada gak lagunya ya, hahaha.

    BalasHapus
  26. Mba aku belum pernah ke sini. Pengen main ke sini jadinya
    aku kalau naik kapal, liat laut berkeliling suka banget

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)