Angin, Listrik, dan Pesawat Kertas

 


Sesungguhnya, perjalanan menuju Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Tolo, Jeneponto, medio Juli lalu bukanlah agenda utama. Sabtu, semestinya adalah hari libur bagi BJ. Tapi di hari itu, ia mesti pergi ke Bantaeng untuk sebuah urusan kerja. Dengan status hari libur,  kami bertiga bisa diajak serta. Setidaknya, ini pergi keluar kota bersama untuk kali pertama setelah long distance sekian bulan.

Bagi yang belum akrab dengan Sulawesi Selatan (termasuk saya sih) : Bantaeng itu sebuah kota kabupaten dengan perjalanan sekitar tiga jam dari Makasar. Sedangkan Jeneponto adalah satu daerah yang kami lewati jika menuju ke Bantaeng.  Rute yang lazim ditempuh adalah Makasar – Takalar – Jeneponto – Bantaeng.

instalasi pembangkit listrik di kejauhan
kincir-kincir PLTB Jeneponto dengan instalasinya

Janji untuk mampir ke PLTB membuat saya antusias melakukan perjalanan kali ini. Saat kelas empat, Ale belajar tentang jenis dan sumber energi. Jadi, mendatangi tempat itu adalah piknik sekaligus studi. Saya memang senang jika bisa menunjukkan materi pelajaran dalam wujud yang nyata, bukan sekedar gambar dalam buku atau penjelasan guru.

Memang, idealnya mengajak Ale ke sana tepat saat kelas empat. Tapi tak apa.... Toh, dalam banyak hal kita harus berdamai dengan situasi tak ideal. Perjalanan saat ini pun sudah saya syukuri. Setidaknya, anak-anak akan lebih bisa mengingat bahwa di PLTB, manusia menjaring angin lalu memanen listrik.

Amazing ya...

Tapi mengapa bayu, bukannya angin? Yuhui, ini pertanyaan retoris. Sudah pasti karena huruf A sudah lebih dulu dipakai oleh pembangkit listrik tenaga air. Kan bikin bingung kalau jadi ada PLTA1 (untuk air) dan PLTA2 (untuk angin). Maka sudah pas untuk menggunakan istilah bayu. Buat saya, ini jadi unik. Seperti urusan teknik yang dipakaikan baju puitik :D

Pagi-pagi kami sudah start dari tempat tinggal yang terletak di pinggiran Makasar –secara adminitratif sudah masuk wilayah Gowa. Pergi dalam situasi pandemi, kami membawa perlengkapan new normal, seperti masker dan hand sanitizer. Bagi BJ, ini perjalanan ke Bantaeng yang entah ke berapa kali. Sedangkan bagi saya dan anak-anak, tentu saja ini pengalaman pertama.

Membandingkan, atau lebih tepatnya menyejajarkan, adalah respon yang sering muncul secara alami. Seperti ketika menyusur sepotong jalan di Takalar, lalu teringat pada suasana yang mirip dengan perjalanan dari Medan ke Pematangsiantar.

Sesaat seperti de javu.

barisan kincir dengan lanskap bukit dan awan

PLTB Tolo I terletak di Desa Kayu Loe Barat, kecamatan Turatea, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Ini merupakan PLTB kedua di Indonesia setelah PLTB di Sidrap (juga kabupaten di Sulsel). PLTB Tolo mulai beroperasi tahun 2019.

Kendaraan kami masuk wilayah Jeneponto, tapi masih beberapa kilometer hingga ke Tolo.  Namun, karena ketinggiannya, bilah-bilah kincir telah terlihat dari kejauhan. Alhasil, dua bocah kecil tak sabar untuk segera tiba di sana. Saya pernah melihat di televisi, lokasi PLTB menjadi destinasi wisata. (Saya lupa, dalam tayangan itu, PLTB Tolo atau PLTB Sidrap yang yang menjadi obyek berita). Bukan hal aneh karena keberadaan kincir-kincir itu menyuguhkan pemandangan yang tak biasa. Tapi saya tak mendapati ada loket atau semacam gerbang penanda tempat wisata. Mungkin karena sejatinya PLTB memang bukan tempat untuk jalan-jalan.  Tapi orang-orang boleh datang walau hanya karena rasa penasaran.

BJ mencari tempat yang cukup lebar untuk parkir. Begitu turun dari mobil, kami bertiga langsung takjub (BJ tidak saya masukkan dalam hitungan, sebab ini bukan kali pertama dia ke sana). Bagi saya, yang tumbuh dengan pengalaman kincir kertas hasil kerajinan tangan atau kincir air kecil di kolam ikan, pemandangan itu terasa WOW. Puluhan kincir raksasa menjulang  di antara lanskap persawahan. Mereka berdiri tegak dengan latar bukit-bukit di kejauhan dan awan putih di ketinggian.  

Suasana lengang. Hanya sesekali ada kendaraan lewat. Desau angin terdengar di telinga. Tidak lembut tapi juga tak terasa sangat kencang. Entah karena pagi itu angin memang sedang santai, atau karena bias dengan bayangan saya sebelumnya.  Jika kamu sama sekali awam, kekuatan angin seperti apakah yang kamu bayangkan sebagai pembangkit tenaga listrik? Angin yang bergulung seperti tornado? – Ah ya mungkin ini berlebihan. Atau setidaknya seperti angin pantai, yang mampu mendorong layar kapal hingga jauh ke lautan?

Bayangan saya adalah seperti angin pantai di saat kencang. Angin yang menderu seru, meniup dedaunan dengan kuat, juga menerbangkan sembarang benda-benda ringan. Tapi di hari itu, ketika pagi menjelang siang, angin di sana tak seribut bayangan saya. Dedaunan bergoyang santai. Sementara di kejauhan, kambing-kambing memamah rerumputan dengan tenang.

“Eh angin ini kuat lho,” tukas BJ ketika saya mengungkapkan keheranan.

Kami sama-sama tidak membawa alat pengukur kecepatan angin (buat apa?). Tapi BJ benar. Faktanya, dengan angin sebesar pagi itu, bilah-bilah kincir bisa bergerak dengan kecepatan konstan. Hei, ini bukan kincir kertas. Tapi mereka kincir dengan tinggi tiang 138 meter dan panjang bilah 64 meter. Ukuran ini lebih besar dibandingkan dengan kincir-kincir di PLTB Sidrap. Di Sidrap, ketinggian menara kincir “hanya” 80 meter dengan panjang masing-masing bilah kincir 56 meter* (semoga suatu hari juga bisa bertandang ke PLTB Sidrap). *

Perasaan saya tentang kekuatan dan kecepatan angin juga langsung mentah jika mengingat pembangunan pembangkit listrik tersebut sudah pasti melewati sekian tahap studi kelayakan. ((Makanya, jangan keseringan mengukur segala sesuatu dengan perasaan :D)). Bagaimanapun, ini bukan proyek yang murah. Saya mengintip lewat google, biaya investasi PLTB Jeneponto ini mencapai US$ 160,7 juta atau sekitar Rp 2,2 triliun (kurs Rp 14.000/$). **

Itu duit, bukan daun!!

Tak terlalu jauh dari tempat kami berdiri, tampak instalasi pembangkit listrik. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana cara sekian peralatan itu mengolah angin menjadi listrik. Itu sungguh terlalu rumit bagi saya yang hanya tahu gambaran paling dasar, bahwa angin memutar kincir, selanjutnya kincir menggerakkan generator, kemudian generator menghasilkan energi listrik.

berdua

Setidaknya cukup bagi saya untuk tahu, bahwa dengan stok angin yang telah lama tersedia, PLTB ini memberi angin baru bagi penyediaan energi bagi negeri.  Maaf, saya lagi malas untuk mengintip data kuantitatif dari Google. Tapi benar kan kalau kebutuhan listrik di Indonesia belum semua terpenuhi?

Jadi mari kembali bersyukur untuk listrik yang menyala di rumah. Walau mungkin, situasi ekonomi memaksa sebagian kita untuk berpikir keras membayar tagihannya (atau membeli tokennya). Bahkan, bagi yang tak pusing dengan biaya, adalah bagus untuk tetap menghemat pemakaian listriknya. Bagaimanapun, listrik adalah untuk dipakai bersama (kecuali kalau punya pembangkit sendiri...bisa suka-suka-lah pakainya :P).

Angin sebagai sumber energi listrik alternatif juga lebih ramah lingkungan. Eh saya nggak ngerti sih, PLTB itu tetap membutuhkan bahan bakar fosil sebagai penggerak atau tidak (bagi yang tahu, bisa menambahkan di komentar). Menggunakan bahan bakar atau tidak, tetap saja keberadaan PLTB mampu mengurangi penggunaan energi fosil yang tidak terbarukan dan menghasilkan emisi karbon.

Duuh, kok jadi kemana-mana mikirnya. Mending menikmati suasana seperti Ale dan Elo. Dua bocah yang iya-iya saja ketika emaknya ngoceh tentang listrik. Jurus sakti supaya bisa segera bermain dengan angin. Bukan untuk eksperimen membuat listrik (haha, kejauhan itu sih). Mereka sudah cukup bahagia dengan menerbangkan pesawat-pesawat kertas. Hembusan angin yang menurut perasaan saya tidak terlalu kuat, ternyata mampu menerbangkan pesawat mereka hingga keluar jangkauan. Lalu keluar permintaan, suatu hari ke tempat ini lagi dengan membawa lebih banyak pesawat kertas.


Dan saya teringat lagu lawas milik Memes.... pesawaaaatku terbang ke bulaaaan. 

 

 

 

 

Referensi :

·         * https://ekonomi.bisnis.com/read/20180701/44/811440/kontruksi-pltb-jeneponto-tahap-1-selesai-92

·         ** https://www.cnbcindonesia.com/tech/20190908151757-37-97876/pltb-terbesar-kedua-ri-mirip-di-eropa-berbiaya-rp22-t

39 komentar untuk "Angin, Listrik, dan Pesawat Kertas"

  1. Asyiknya bisa jln2 ke daerah baru n melihat sesuatu yg keren...
    btw Jeneponto itu daerahnya rata ya bund? Bukan pegunungan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku malah belum ngeh secara keseluruhannya. Tapi tampak ada perbukitan sekaligus dekat pantai

      Hapus
  2. Balasan
    1. tingginya 138 meter bund. kalo pas di bawahnya mesti ndangak :)

      Hapus
  3. Akhirnya Indonesia punya PLTB juga, ya. Seneng, deh. Semoga memberi banyak manfaat bagi warga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak farida, semoga anginnya konsisten :)

      Hapus
  4. Hahhaaa, wakakaka ngakak banget pas ujungnya.
    Keknya jamannya aku juga deh lagu hitsnya Memes,pesawatku terbang ke bulan.
    Seru ya memang anak2, pemikirannya menerbangkan pesawat kertas aja udah happy, Kalo emaknya udah banyak cabang pikirannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi...umur bisa dideteksi dari selera lagu ya mbak :)

      Hapus
  5. Seru banget, bisa menambah wawasan untuk anak2 ya Mak.
    Aaaakkk, iyaaa, baca cerita ini jadi keingat lagunya Memes

    Pesawaaaattkuuu Terbaaanggg ke Bulaaan

    BalasHapus
  6. Huaa, saya belum pernah ke sana Mak hehehe. Beruntung Mak Lisdha bisa langsung main ke PLTB. Bantaeng itu daerah asalnya Pak Gub sekarang, dulu beliau bupati di sana sebelum jadi gubernur.

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh gitu mbak Niar. Tapi kemarin cuman lewat aja di jenepontonya. belum explore coto kuda di sana hahaha

      Hapus
  7. Duh senangnya lihat foto berdua itu, rukunnya Ale dan Elo. Sehat-sehat terus yaaa.
    Anak-anakku dulu waktu kecil juga sering bikin pesawat kertas, seneng banget kalau anginnya kenceng, jadi terbang pesawatnya bisa jauuh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kadang rukun, kadang berantem gitu kan mbak hehehehe

      Hapus
  8. Aku malah baru tahu kalau di Indonesia juga ada pembangkit listrik tenaga angin. Ini baru satu2nya di Indonesia atau ada yang lain lagi ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada dua mbak wid. itu saya tulis di atas, satunya di sidrap. sama2 di sulsel

      Hapus
  9. Bener juga ya, kalau diberi nama PLTB dengan B bayu, karena A sudah jadi hak milik PLTA, aku baru nyampe mikirnya baca ini hihihi
    Aku belum pernah mengunjungi sebuah PLTB. Tapi kalau yang sejenis pernah lewat saat tinggal di Amerika. Dan seriusan, kupikir angin di daerah tempat PLTB itu berada di sana bakalan kencang wuzz wuzz...ternyata B aja. kwkwkw. Komen suamiku pas aku nanya, lha kalau kenceng banget ya tornado. Maka, betuuul jangan main perasaan hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hlaaa...kok sama perasaan kita dan respon misua mbak?? hahaha..
      ini memang jd reminder buat perempuan (baca : saya) supaya nggak baperan wkwkkkw

      Hapus
  10. Wah Ale dan Elo sudah mulai mengeksplorasi Makassar ya mbak. Melihat kincir angin di Jeneponto ini tentu sangat menyenangkan buat mereka. Bisa lihat kambing-kambing juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. sedikit2 mbak...soalnya pergi2 juga belum leluasa. Kemarin pergi ke sana juga karena pertimbangan nggak ramai :)

      Hapus
  11. Menurut saya sudah tepat menggunakan PLTB, menggunakan bayu ketimbang angin. Soalnya pas menyingkat nanti, PLTA sudah ada, masa harus menggunakan PLTA2 kan gak lucu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mbak..ntar ada PLTA3 pula hahahaha

      Hapus
  12. Aku bingung pembangkit listrik tenaga bayu tolo itu apa, ternyata tenaga angin dengan turbin-turbin kipas raksasa itu ya...Sering lihat di acara tv korea edisi Pulau Jeju... Ternyata di Indonesia ada juga..tapi kayaknya belum banyak ya di Indonesia seperti ini...Beruntung di dekat tempat tinggalnya ada seperti ini, bisa jadi tempat belajar anak-anak juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tolo nama daerah kalau nggak salah mbak :)
      Indonesia masih tertinggal jauh sama negara lain soal penggunaan angin ini. Next semoga makin banyak ya...

      Hapus
  13. Kincir-kincirnya mengingatkan ke Drama Korea yang baru aja selesai, It's okay not to be okay. Tempatnya sangat menarik dan edukatif ya Mba, tepat kalau mengajak Anak-anak kesana, selain berwisata juga untuk mengenalkan mengenai Pembangkit Listrik ini. Aku jadi ingin kesana jugaaa :D

    BalasHapus
  14. Kemarin kayaknya aku lihat di drama Its Okay to Not be Okay ada adegan di bawah kincir angin. Ah indah sekali aku pikir. Ternyata di Indonesia sudah ada ya 😂

    BalasHapus
  15. Jadi ingat negara kincir angin ya mba, yang menghasilkan listrik dari putaran kincir dengan tenaga bayu tadi. Eh di Jawa ada ndak ya, coba intip di google aaah. Pengin menunjukkan ke anak juga sumber-sumber listrik yang ada di negeri ini apa saja.

    BalasHapus
  16. Melihat kincir yang berputar karena kekuatan angin pasti jadi obyek pengamatan yang menarik bagi anak-anak. Aku aja penasaran gimana caranya angin bisa diubah jadi listrik. Semoga makin banyak daerah yang mendapat listrik dari energi terbarukan bukan dari fosil

    BalasHapus
  17. Baru tahu kalau di Indonesia ada pembangkit listrik tenaga angin (bayu). Benar nih bisa jadi lokasi wisata edukasi buat anak-anak.

    BalasHapus
  18. Memang paling bisa dimengerti, ditangkap, dan disimpan, kalau anak juga diajak untuk dikenalkan trkait mata pelajaran yg didapat dg memberitahukan langsung atau oh ini loh yg ada di pelajaran ini, JAdi anak semakin antusias bertanya ya.
    PLTB, wahhh asyik juga ya mbak, ada kincir angin, ehh kincir bayu utk sumber enrgi listriknya

    BalasHapus
  19. Perjalanan tipis-tipis malah melahirkan sebuah pemikiran dan renungan begini, kak.
    Senangnya,
    Ada suami yang kompak diajak berdiskusi mengenai PLTB.

    BalasHapus
  20. Seumur-umur belum pernah main ke tempat semacam PLTB. Seru juga ya mbak, apalagi tempat yang baru pertama kali dikunjungi. Jadi bersyukur aku tinggal di Kota yang nggak kekurangan sumber listrik. Tinggal bijak aja sama pemakaiannya.

    BalasHapus
  21. Wuih seru banget. Anakku yang nomor 3 kalo lihat langsung yang begini pasti exciting banget. 😍

    BalasHapus
  22. Salah satu yang patut dibanggakan.. semoga makin banyak PLTB lainnya di Indonesia ya... juga sumber energi lainnya biar gak terlalu. bergantung pada energi fosil

    BalasHapus
  23. Waaah serasa di Belanda ya Mbak. Lihat banyak kincir angin sebagai tenaga listrik gini.

    BalasHapus
  24. Di jogja juga ada mbak Kincir kayak gini. Di daerah pantai selatan banyak banget kincir raksasa.

    BalasHapus
  25. wah keren ini kincir anginnya, angin yang dimanfaatkan

    BalasHapus
  26. btw BJ itu bojokah mba? 😆 hihi
    Tapi seruuu ya pasti anginnya kenceng nih di sini, mana namanya juga bagus. Bayuu biar nggak ketuker. Ini piknik gratis tapi sarat ilmu ya Mba

    BalasHapus
  27. Keren banget yah kincir raksasanya seru banget pastinya yah kak

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)