Laron, Jomblo Berarti Mati

pic by takimzone.com


Dalam postingan sebelum ini, saya cerita tentang alergi ikan lele pada Elo. Saya juga sedikit menyinggung alergi laron yang terjadi pada saya di masa kecil. Penampakan alerginya berupa gatal dan merah di sekujur badan. Sejak kejadian itu, saya nggak pernah lagi makan laron. Kalau sekarang,  di usia yang sudah berlipat dari masa itu,  apakah saya tetap alergi jika makan laron?

Saya serahkan pada Wanda untuk menjawab.

Baca : Elo dan Alerginya 

Bukan Wanda Hamidah yaaa... Tapi  Wanda : wa-nda(k) tahu saya hehehe (mohon maaf untuk yang bernama Wanda). Bersyukurnya, laron bukan makanan yang lazim. Sejauh pengalaman makan di luar, saya belum pernah menemukan sajian laron. Bahkan, bagi sebagian orang, mungkin laron digolongkan sebagai kuliner ekstrem. Adakah yang sudah pernah nemu menu laron di warteg atau rumah makan?

Sejauh saya tahu, laron biasa disangrai, digoreng, dibuat rempeyek, atau dibotok. Sejujurnya saya sudah lupa bagaimana rasa laron. Tak ada sedikitpun memori yang tersisa dari cecapan terakhir, sekian puluh tahun lalu. Saya sempat menganggap laron sebagai makanan jelata, beda derajat dong sama bistik misalnya. Atau kalaupun sama-sama untuk rempeyek dan botok, laron masih kalah kasta daripada ikan teri (apalagi teri Medan yang putih bersih dan nggak terlalu asin).

peyek laron, pic by daunijo.com


Padahal, laron memiliki kandungan nutrisi yang baik. Saya kutip dari situs pertanianku.com, kandungan nutrisi dalam laron bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan fungsi otot, dan mencegah kerontokan rambut.

Budaya memasak laron tidak hanya ada di Indonesia, tapi juga di tempat lain, seperti Afrika.  Bisa dibilang, mengonsumsi laron adalah kearifan diversifikasi pangan, tidak terpaku pada sumber protein mainstream. Sayangnya, tubuh saya menolak “protein asing” ini dengan cara memunculkan gatal dan merah sekujur tubuh.

Bagi umat Muslim, menurut sebuah artikel di detik.food, laron tidak digolongkan sebagai bahan pangan haram. Namun, perlu saya tekankan bahwa mengenai hal ini, saya sekedar membaca dari satu sumber. Sebagai non-muslim, saya juga tidak berpretensi meneguhkan informasi tersebut. Untuk perspektif  lain, silakan sampaikan dengan sopan di kolom komentar.

Intinya, laron adalah salah satu kekayaan biodiversitas bumi manusia.  Saya menulis ini hanya dengan niat “mengenang” alergi laron di masa kecil. Tapi ternyata membuat saya membaca beberapa artikel yang memberi pengetahuan baru, seperti fungsi laron sebagai penanda sumber air dan kesuburan tanah. Penegas bahwa setiap ciptaan pasti ada fungsinya. Kalau dibilang nggak ada fungsinya, mungkin belum ketahuan aja.

Menangkap Laron

Sebagai sumber pangan, laron bisa didapatkan secara gratis (halah, jiwa #emakirit).  Laron akan datang tanpa perlu diundang (juga tak perlu diantar untuk pulang) . Kedatangan laron sekaligus sebagai titen (penanda) mulainya musim hujan. Logikanya mudah, saat hujan mulai turun, kedalaman tanah (tempat sarang laron) menjadi lembab sehingga mereka keluar untuk mencari tempat yang kering.

Mengumpulkan laron menjadi kenangan masa kecil yang belum pudar. Saat itu, di kampung saya listrik belum mengalir.  Pada saat malam, suasana luar rumah hanyalah gulita. Dalam rumah pun, nyala lampu tak terlalu terang. Maklum, hanya lampu minyak. Di rumah kami ada petromaks, tapi sepertinya tidak setiap hari dinyalakan.

Ya ampun, membayangkan suasana itu, betapa terasa sangat lampau. Ya-ya, itu memang sudah sekitar tiga dekade yang lalu.

Dengan situasi demikian, lampu minyak selalu menjadi tujuan laron yang mencari kehangatan. Kesempatan bagi manusia untuk mendapatkan sumber pangan tanpa banyak upaya. Membayangkan kejadian ini dengan obyek (atau subyek?) manusia ternyata memedihkan. Laron-laron keluar dari kegelapan, menghampiri terang untuk mencari “kehidupan yang lebih baik.” Tapi, minyak  lampu sengaja ditaruh dalam wadah besar berisi air. Nahas bagi laron yang terperangkap, sebaliknya keberuntungan bagi manusia. Laron yang terkumpul akan dibersihkan dari sayap dan kotoran (dicuci) untuk kemudian dimasak.

Ada juga cara lain untuk menangkap laron, yakni nyalung (dari kata calung). Bisa dibilang sebagai cara untuk berburu laron. Tapi jangan bayangkan caranya seperti berburu macan (ya iyaaalah). Cara ini biasa dilakukan siang/sore hari dan tidak menggunakan lampu sebagai penarik laron. Di daerah  saya, nyalung biasa dilakukan ketika seseorang menemukan lubang keluar dari sarang laron. Tanda keberadaan sarang adalah adanya rayap yang keluar dari dari lubang tersebut.

rumah honai, gbr dr 99.co
Untuk memancing laron keluar, daerah seputar lubang dikondisikan gelap. Caranya dengan membuat kerangka kayu/bambu berbentuk setengah batok kelapa, (seperti rumah honai dengan ukuran kecil). Lalu, di atas kerangka itu ditimbun rumput/dedaunan. Pada satu sisi, dibuat lubang/jalan keluar laron menggunakan corong dari daun pisang. Tepat pada ujung corong, dibuat lubang di tanah dengan kedalaman 20-30 centimeter untuk menaruh kantong/wadah penampung laron.   

Oh ya, ada satu tindakan tambahan yang (lagi-lagi bila dibayangkan dengan obyek manusia) terasa bar-bar. Tujuan tindakan ini untuk memancing agar semakin banyak (dan cepat) laron keluar dari corong. Caranya adalah dengan menusukkan bambu/ranting kecil (sekira tusuk sate) pada bagian badan laron. Tusukan laron ini ditancapkan tepat di dekat corong daun.  Laron malang ini tidak langsung mati tapi menggerakkan sayapnya (upaya meloloskan diri/menahan sakit??). Apakah laron yang masih dalam kegelapan bisa “tertipu” ilusi gerakan sayap laron di ujung corong?

Wanda juga yang menjawab ^-^

Jomblo Ngenes

Oh ya, ada fakta yang juga dramatik dalam perjalanan “mencari terang berujung kematian” ini. Saya menyarikan informasi dari artikel di kumparan.com. Secara ekologis laron termasuk dalam jenis rayap. Rayap dibedakan dalam dua kelompok besar, yakni rayap tanah dan rayap kayu. Seperti banyak serangga lainnya, rayap hidup berkoloni. Dalam satu koloni rayap (yang anggotanya pasti buanyaaak banget dong), terdapat pembagian kasta berdasarkan pembagian kerja.

Setidaknya ada tiga penggolongan kasta, yakni kasta prajurit, kasta reproduktif. Hal ini bisa dilihat dari anatomi tubuhnya. Laron prajurit dan pekerja tidak punya mata, selain itu alat reproduksinya tidak berfungsi dengan baik (meski ada jantan betina tapi infertil). Akibatnya, mereka tidak bisa berkembang-biak. Hidup mereka didedikasikan semata untuk pengabdian pada koloninya. Ngenes nggak sih?

Tapi ngenes itu relatif (lagian itu kan menurut pola pikir manusia hahaha). Toh, kehidupan kasta reproduktif juga tidak kalah keras. Mereka bertanggung jawab pada regenerasi koloni. Saat musim hujan dan keluar sarang, itulah masa bagi mereka untuk mencari kehangatan (cahaya) dan pasangan.  Seperti Bandung Bondowoso membangun Candi Prambanan, limit waktu bagi para laron untuk melakukan tugas tersebut juga hanya satu malam. Coba laron kayak manusia, terbang-terbang sambil berdendang dangdut Cinta Satu Malam kali ya..

Satu malam yang sangat menentukan. Bagaimana tidak jika pilihannya cuma biner. Pertama dapat jodoh lalu membentuk koloni baru dengan pasangan-pasangan lainnya. Kedua, gagal dapat pasangan lalu mati/disantap predator (manusia salah satunya). Dalam dunia laron, kasta reproduksi memang disiapkan (diberi makan pekerja dan dilindungi prajurit) untuk regenerasi. Kembali ke sarang dalam keadaan jomblo adalah tabu dengan hukuman mati.

Hororrrr...

Tapi memang, dunia serangga punya aturan yang berbeda dengan manusia. Sebagai manusia, dengan status jomblo masih bisa pulang ke rumah. Pertanyaan “kapan kawin” dari keluarga besar memang menyebalkan, tapi setidaknya bukan tabu yang mematikan. 


(LSD)



41 komentar untuk "Laron, Jomblo Berarti Mati"

  1. Duh.. laron ya.. heheh

    Yg pernah ngerasain laron ya mbokku..

    Aq blm pernah sis.. dan mungkin gak akan pernah.. rasane mbayangin laron.. uiiihh..
    Hahaa

    Tapi ternyata manfaatnya banyak ya sis? 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya jadinya juga sekedar pernah mbak :)
      nggak keterusan karena alergi hehehe

      Hapus
  2. Aku baru tau lho, kalau laron bisa dibuat olahan rempeyek untuk dimakan, gimana rasanya ya. Dan sejarah serangga ini, layak dicermati, karena saya butuh 2-3 kali untuk membacanya wkwkwkwkkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. dunia serangga yang pernah saya lihat di film-film kartun, tidak sejelas ini menceritakan sistem kasta Makpon hehehe

      Hapus
  3. Waktu aku kecil tetanggaku ada tuh yang menampung laron di baskom berisi air katanay mau dibuat peyek, baru tau kalau bisa dimakan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang terbilangnya kuliner ekstrim kalau di sini ya mbak Lid :)

      Hapus
  4. Aku malah suka kabur dan geli kalau lihat laron. Ga tau kenapa. Mungkin karena lihat mereka berkerumun gitu ya. Baru tau ternyata mereka ada mahluk Tuhan yang ngenes sebagai jomblo. Lebih horor hidup mereka emang kalau dibanding sama manusia yang ditanyain kapan kawin. Apa manusianya yang baper? hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. bukan mahluk yang paling seksi ya mbak Efi hihihihi

      Hapus
  5. Baru denger nih ada makanan berbahan dasar laron.
    Kalo lihat kandungan gizi dan faedahnya, menarik juga buat nyoba yaaa
    Walopun mungkin geli2 gitu pas makan

    BalasHapus
    Balasan
    1. kemungkinan mbak nurul lahir dan besar di kota nih ^-^

      Hapus
  6. aku geli makan rempeyek laron.. dulu waktu kecil pernah cicip terus malah muntah2. rasanya sama aja kayak teri kriuk2. tapi karena beda hewan kali ya hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaa...pernah juga ya mbak mol. kayaknya memang ada rasa yg ga biasa ya :)

      Hapus
  7. Jaman kecil aku sering nyari laron, Mbak. Kalau sudah musim laron lampu-lampu dimatiin, yang dinyalain cuma satu bakal tempat panen laron. Atau enggak pakek lilin. Nanti laronnya ngumpul di situ tinggal ambil. Kalau sekarang entahlah masih doyan atau enggak. Udah terlalu lama gak pernah nangkap laron.

    BalasHapus
    Balasan
    1. waah tosss mba aisyah. masa kecilnya pernah ngumpulin laron juga :)

      Hapus
  8. Walah padahal mau tanya rasa laron, malah Mbak Lisdha bilang wanda, hihihi

    Aku mikirnya sih gini, kalau dari rumah ada laronnnya berarti di situlah sumber rayap sang pengeropos kayu-kayu rumah, Zzz

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe..iya mbak, uda lupaaa. udah bertahunn lalu.
      eh entah ya..apa saya kelewatan baca, laron itu dari rayap tanah apa rayap kayu?

      Hapus
  9. Serius laron bisa dijadiin cemilan, alias bisa dimakan itu? uuuh aku dengernya geli :D secara aku geli bgt sama laron

    BalasHapus
  10. Orang sini sering tuh konsumsi laron tapi aku belum tega hihi ternyata banyak protein dan bergizi tinggi ya tapi tapii hihi

    BalasHapus
  11. Laron biasa muncul menjelang musim penghujan. Saya pernah denger serangga ini bisa dikonsumsi. Hanya untuk memakannya saya ga akan sanggup
    Mungkin memang kurang cocok dengan jenis Makanan yang tak biasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup mbak siti, Memang tak semua orang sanggup makan makanan yang tak biasanya disantap

      Hapus
  12. Eh kok jadi kasian ya sama laron hehe.. beneran harus belajar lagi nih tentang satwa.. tenya masing masing satwa itu punya keunikannya masing masing.. aku jadi penasaran deh kenapa mbak suka sama tulisan tentang hal ini? hehe pesaran aja

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau ngomongin serangga, yang saya langsung terpikir adalah : total populasi manusia itu berapa persennya total populasi mereka?? :)

      Hapus
  13. Aku belum pernaaah mba makan laron. Seperti apaa sih rasanya? Dan jadi tambah tau tentang laron jugaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. sayang sekali saya sudah lupa detail rasanya mbak indah. Yang pasti ada sensasi rasa tak biasa yang saya nggak bisa jelaskan dengan kata2 hahaha

      Hapus
  14. Wah ini saya baca yang kasta laron, jadi malah bersyukur diciptakan Allah sebagai manusia ya. Kalau berpikir melihat mahluk ciptaan lain, rasanya kita ga akan banyak2 ngumpulin dosa. Coba itu prajurit ga punya mata, ga bisa reproduksi dan mati mengenaskan. Yang reproduktif, kudu jadi laron pencinta, pulang kudu bawa bini. kalau nggak mati. duuuh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagi mata manusia, ajaib ya tata kehidupan mereka :)

      Hapus
  15. Duh, baru tahu kalau hidupnya laron begitu dramatis. Setelah baca artikel ini, sepertinya aku ga bakalan tega lagi mengusir laron dari rumah. Hahaha. Padahal selama ini aku paling ga suka sama laron, apa lagi kalau siap hujan, malam-malam pada berterbangan di dalam rumah, mana sayapnya yang lepas berserakan di mana-mana. Larooon..larooon.

    BalasHapus
    Balasan
    1. jangan2 pas laron datang ntar mb merry mikir, mana yang sukses membangun keluarga sakinah, mana yang berakhir ngenes hehehe

      Hapus
  16. Baca ini jadi ingat masa kecil, dulu sering makan laron. Kalau musim hujan dan ada laron, maka segera ambil tampah dan taruh lampu telpok diatasnya, maka laron akan berkerubung. Tinggal tangkap deh.

    Kini anak-anak suka laron buat mainan, seneng nangkap dan mengumpulkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. masih ada ya mbak? saya tinggal di pinggiran kota, anak2 belum pernah ketemu serbuan laron

      Hapus
  17. Baru tahu saya kalau ada alergi laron juga tapi memang mungkin kalau di tempat saya laron kan tidak mudah juga ditemukan jadi sesekali sehingga kurang diperhatikan

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama mbak milda. d tempat saya sekarang juga belum pernah ke-tamu-an laron

      Hapus
  18. Menarik yaa...
    Aku sudah dengar kuliner laron ini. Tapi ya...belum coba, karena gak tahu kehalalannya (gak pernah cari tau siih...hihi..)

    Kasta ketiga laron, apa...kak?
    Sepertinya di atas hanya disebutkan 2 kasta. Apakah laron punya ratu seperti lebah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kastanya ratu, pekerja, dan prajurit mbak lendy :)

      Hapus
  19. Paling gak suka ada laron di rumah esoknya pasti ninggalin sayap heuheuheu. Iya mereka jd ayap gtu ya, khawatir ngrusak kayu kusen :(
    Soal laron jd makanan ibuku dulu katanya di desanya ya sering makan mbak, kdng dipeyek gtu katanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini yg saya terlewat baca, laron itu dr rayap tanah atau rayap kayu? atau bisa dr dua-duanya?

      Hapus
  20. Unik ya mbak, eh saya enggak kepikiran tuh mencari tahu dunia laron, hehehe. Membaca postingan ini bikin saya penasaran sekaligus membayangkan masa kecil saat saya juga suka berburu laron lalu saya berikan ke ayam karena saya enggak doyan. hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha..betul..ayam sebagai omnivora doyan banget makan laron :)

      Hapus
  21. Akutu sbnrnya penasaran Ama rasa laron mba. Laron dan belalang , ini 2 yg aku blm kesampaian mau nyobain :D. Jrg juga sih Nemu laron, sempet ada dulu di rumah, tp aku ga tau cara ngolahnya yg bener. Jd percuma.pengennya icipin lgs dari orang yg memang bisa mengolah laron :D. Tapi di mana yg banyak menjual ini yaaa

    Kalo belalangkan msh banyak dijual di Jogja tuh :D. Jd msh gampang nyarinya :D.

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)