Tentang 2018 dan 2019 yang Terlambat

pic by pixabay (text edited)


"Selamat Natal 2018 dan Tahun Baru 2019"

Duuuh, ini jelas sebuah tulisan yang terlambat untuk menutup dan menyambut tahun. Di saat blog-blog lain sudah melaju ke topik-topik baru, saya baru mengawali tulisan pertama tahun 2019 di tanggal ini (blushing). Tapi (sembari siap-siap disambit kerikil oleh para penjunjung tinggi ketepatan waktu) saya merujuk ke kalimat klasik: "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali."


Blog ini hiatus dari medio Desember 2018, yakni saat menjelang Natal hingga medio Januari 2019, yaitu beberapa waktu setelah mudik. Harusnya segala ke(sok)sibukan, susah sinyal, suasana mudik, dan sebagainya memang tidak boleh dijadikan alasan. Tapi itulah yang terjadi sehingga blog ini adem-ayem :(
Tapi, untungnya sebuah cerita tidak harus seperti berita yang harus disiarkan sesegera mungkin. Dan ini cerita saya tentang Natal dan Tahun Baru :

Natal

Di kalender, Natal tercetak pada tanggal 25 Desember. Tapi Natal umum dirayakan terentang dari awal Desember hingga Januari tahun depannya. Bukan tidak mungkin sampai tanggal belasan Januari ini pun masih ada yang merayakan Natal. Sehingga, bagi saya sah-sah saja untuk merayakan dan mengucapkan Natal  bukan di bulan Desember.

Terlebih masih ada pro-kontra sejarah perayaan Natal yang tidak menunjuk satu tanggal mengenai "kapan tepatnya Yesus dilahirkan". Tak ada catatan pasti sehingga tanggal Yesus dilahirkan adalah berdasarkan perhitungan dan perkiraan dengan pendekatan ilmiah. Dan karenanya, ada aliran-aliran Kristen yang tidak merayakan Natal pada 25 Desember. Buat saya, itu bukan fakta yang membingungkan iman. Saya setuju jika perayaan Natal dan juga hari besar lainnya tidak harus fokus pada "tanggal tepatnya." Melainkan pada esensi perayaan itu sendiri.

Karena itu, bahkan di bulan-bulan yang jauh dari Desember, saya kadang sengaja mendengarkan lagu-lagu Natal untuk refleksi imani : sudahkah Tuhan benar-benar "lahir dan hidup" di hati saya? Atau saya hanya mengenakan agama? Ah ya, itu pertanyaan "berat" sih. Pertanyaan yang tidak akan bisa saya jawab dengan tulisan. Karena mulut bisa menjawab yang baik-baik, tapi faktanya adalah di kombinasi pola pikir, bicara, tindakan saya.

Di sini, saya cerita saja tentang Natal tahun ini. Bagi saya, BJ, Ale, dan Elo, ini adalah Natal yang ketiga sejak kami tinggal di Medan. Sekaligus Natal yang berbeda dengan dua Natal sebelumnya. Dua Natal pertama di sini, kami hanya sebagai jemaat pasif yang sama sekali tidak terlibat dalam persiapan perayaan Natal di gereja tempat kami beribadah. Kalau biasanya Natal adalah hari di mana orang-orang Kristiani sibuk dengan latihan-latihan untuk perayaan, saya dan BJ sama sekali tidak. Ale dan Elo pun tidak.

Jujur saja, selama di gereja tersebut Ale dan Elo sama sekali tidak mau ikut sekolah minggu yang adalah ibadah khusus anak-anak. Ditemani (sekolah minggu) malu, ditinggal nggak mau. Repot kan? Situasi yang cukup membuat kami gelisah. Lazimnya orangtua adalah memandang penting untuk memberikan dasar dan bekal rohani pada anak-anak. Akhirnya di medio 2018 kami memutuskan untuk pindah gereja. Sempat bingung mau pindah ke gereja mana karena bagaimanapun kami ingin gereja yang dekat rumah. Puji Tuhan kami dipertemukan dengan gereja yang sekarang, yang justru lebih dekat rumah dibandingkan gereja sebelumnya. Dan di sini, anak-anak mau bahkan nyaman ikut sekolah minggu (meski Elo masih sering absen :D). 

Tahun ini, Ale ikut merasakan Natal di mana dia mesti berlatih dan berlatih untuk persiapan pentas. Tak hanya di gereja, di sekolah pun dia turut terpilih untuk menari tor-tor saat perayaan Natal. Jadilah dia "merasa sibuk", situasi yang tidak dia alami di natal-natal sebelumnya.



Oh ya, tentang menari tor-tor. Sebagai Jawa yang lahir di Sumatera Utara, tarian ini jelas bukan hal asing bagi Ale. Sejak kecil dia sudah sering melihat "orang manortor". Tapi kemarin, dia menari tortor dengan baju tradisional. Meski multikultural adalah bagian dari hidup sehari-hari, tapi kejadian seperti ini tentu hanya pengalaman sekali-sekali. Saya mencatatnya sebagai pelajaran #AkuBhinneka yang belakangan sering digaungkan. Rasanya lebih mudah sih mengajarkan keragaman lewat pengalaman nyata seperti ini.

Berbeda halnya dengan Elo, di gereja di Medan, selain masih sering absen sekolah minggu, dia sama sekali menolak untuk ikut terlibat dalam penampilan anak-anak. Dibujuk-bujuk, tetap menolak. Ya sudah...nggak kami paksa daripada menimbulkan trauma. Tak disangka, saat mudik dan ibadah Natal di kampung halaman, Elo (ditemani masnya -Ale dan mas sepupu -Iel) sangat bersemangat untuk perform Best Chrismast Ever Dance. Hal ini tentu menyentuh katup keterharuan saya. Emak-emak pasti sangat paham tentang perasaan seperti ini. Bukan membangga-banggakan tetapi kalau melihat perkembangan Elo yang sempat terasa lambat, bagaimana saya nggak terharu dengan itu?



Tahun Baru

Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi ; taka da sesuatu yang baru di bawah matahari (Pengkotbah 1 : 9)
Sejujurnya, saya tidak menyambut tahun 2019 dengan antusiasTerlihat dari ayat suci yang saya pilih pun adalah bagian yang bernada pesimis (ini namanya mengutip demi kepentingan sendiri, karena keseluruhan teks-nya bukan bermaksud pesimis melainkan reflektif).  

Ada alasan dari nihilnya antusiasme saya memasuki tahun 2019. Yakni, kesuraman tahun lalu yang ternyata masih membekas. Medio 2018, saya sering galau parah dan tak jelas. Tak jelas karena rasa-rasanya sih bukan disebabkan hal-hal besaaar, melainkan akumulasi dari perkara-perkara kecil yang tak segera saya selesaikan. Alih-alih mencari solusi atau pengalihan pikiran, saya justru membawanya dalam perasaan. Baper yang daleeeeeeem sedalem-dalemnya. Yah, sekecil kerikil pun, kalau terkumpul jadi sekarung besaar, nggak  kuat juga menggendongnya kan?

Di luaran saya mungkin masih biasa saja. Terlebih saat itu “tertolong” dengan situasi tidak sering bertemu orang-orang yang dekat dengan saya. Alhasil, tak ada yang peka dengan perubahan saya. Kalaupun ada yang merasa saya “aneh”, mereka tidak menyampaikan karena tidak dekat dengan saya. Hanya suami (BJ) yang tahu bagaimana suramnya kondisi saya saat itu. Saya sering merasa nggak berharga dan tidak lagi antusias terhadap berbagai hal. Emosi saya up and down seperti roller coaster. Menangis adalah menu harian L

Self-diagnose berdasarkan baca-baca artikel : sepertinya saya termasuk depresi, entah itu level ringan atau medium. Saya sempat kepengin datang ke psikolog atau psikiater seperti yang dilakukan salah satu blogger favorit saya, Grace Melia dan tulisannya "Battling Depression." Saya membaca pengalaman-pengalaman orang pergi ke psikolog/psikiater, saya juga browsing dengan kata kunci "psikolog di Medan". Tapi tetap saja maju mundur untuk melakukannya. Puji Tuhan, meski BJ adalah bagian dari masalah dan dia juga tak punya ketrampilan konseling setaraf psikolog atau konselor profesional, tapi BJ juga yang sangat-sangat-sangat membantu saya melewati masa-masa itu (thanks a lot dear).

Sebenernya saya beberapa kali mencoba bikin tulisan tentang itu. Tapi  mungkin saya belum benar-benar siap membuka pengalaman itu. Alhasil, tulisan tidak selesai atau kalaupun selesai, saya tak berani posting. Mudah-mudahan next time saya bisa menyelesaikan tulisan dan memostingnya.

Nah, kalau di awal tahun saya enggak excited, beda halnya dengan minggu ketiga ini. Ada hal-hal yang Tuhan ubahkan sehingga saya bisa melihat beberapa hal dengan cara pandang yang berbeda. Termasuk cara melihat tahun lalu dan tahun ini. Kalau kemarin-kemarin saya cenderung hanya bisa melihat hal tidak baik, hari-hari ini saya bisa melihat yang sebaliknyaTahun 2018 memang ada bagian yang muram, tapi sekaligus juga banyak banget kebaikan Tuhan yang saya terima. Kejatuhan saya mungkin diizinkan Tuhan untuk melatih kekuatan saya.

Cara pandang yang berbeda otomatis mengubah pengharapan saya. Kalau kemarin-kemarin saya hendak “mengalir saja”, saat ini saya mulai berani untuk kembali “berenang”. Mengalir saja dengan berenang, dua hal yang sangat berbeda bukan? Saya memang belum menerjemahkannya menjadi target, resolusi, atau semacamnya. Tapi saya akan melakukannya. 

"Believe in yourself and all that you are. Know that there is something inside of you that is greater than any obstacle" (Christian D Larson) 

Dan bagaimana dengan teman DW? Semoga tahun ini juga dilimpahi dengan semangat dan kebaikan.  

Posting Komentar untuk "Tentang 2018 dan 2019 yang Terlambat"