Pengalaman "Menutup" Reksadana di Bank Mandiri




Saya anggap postingan ini sebagai lanjutan dari tulisan Pengalaman Membeli Reksadana Bank Mandiri yang kejadiannya pada tahun 2014. Mengapa lanjutannya baru ditulis pada 2017? Seperti film saja, butuh bilangan tahun untuk muncul sekuel lanjutannya.  Ya memang baru bisa ditulis tahun ini karena kejadiannya baru tahun ini, tepatnya bulan Oktober kemarin.

Baca : Pengalaman Membeli Reksadana Bank Mandiri 

Sengaja kata menutup pada judul saya bubuhi tanda kutip. Sebab, kata menutup rasa-rasanya kurang tepat. Tapi belum ketemu kata yang  saya rasa lebih tepat. Jadi sementara pakai kata “menutup” dulu sampai ketemu kata yang pas.  Kata menutup terasa tidak pas karena faktanya, saya tidak melakukan prosedur penutupan akun reksadana. Yang saya lakukan adalah menjual semua unit reksadana saya di Bank Mandiri. Dan sepertinya saya tidak akan lagi membeli reksadana di bank biru tersebut.

Saya tidak tahu, apakah akun reksadana di bank tersebut bisa ditutup atau tidak. Atau, apakah akun bisa kadaluwarsa jika dalam sekian waktu tidak ada transaksi yang terjadi. Sayangnya, pertanyaan tersebut justru muncul saat saya menuliskan ini. Kalau saja terbersit sebelum pergi ke Bank Mandiri, kan saya bisa tanyakan ke staff bank dan bisa sekalian saya share di sini.


Mengapa saya menarik semua tabungan reksadana di Bank Mandiri? Kecewa dengan pelayanan bank? Atau kecewa dengan kinerja reksadananya? 

Sama sekali tidak! Justru sebenarnya saya merasa agak berat menarik reksadana dari dua manajer investasi tersebut. Pertama karena alasan melankolis, yakni reksadana di Bank Mandiri adalah reksadana pertama saya. Reksadana yang saya beli dengan dasar nekat karena keingintahuan yang besar, seperti apa sih menabung reksadana itu? FYI, berhubung dulu adalah langkah coba-coba, maka nilai installment bulanannya juga taraf coba-coba. Dulu mikirnya, kalaupun rugi, nggak rugi-rugi amatlah.

Kedua, dengan dana yang relatif kecil, ternyata belakangan perkembangan reksadana saya cukup menggembirakan. Di tahun pertama, kedua reksadana saya memang sempat minus berbulan-bulan. Namun, pada saat pencairan kemarin, perhitungan profitnya antara 8-10 persen. Untuk sebuah tabungan, sudah bagus banget sih buat saya. Bandingkan dengan menabung di bank, apalagi menabung di celengan ayam ^-^
Tapi, namanya lagi butuh dana segar. Saya kesampingkan alasan melankolisnya. Apalagi, harga unit reksadananya sedang bagus. Bisa dibilang sudah untung. Jadi mulailah saya mencari informasi tentang pencairan reksadana di bank tersebut. Berhubung pendaftaraan pembukaan akun dilakukan secara offline (datang langsung ke kantor bank), penjualan unit reksadana pun harus dilakukan dengan offline juga.


Persoalannya adalah, dulu akun reksadana saya buka di Bank Mandiri di Kota Pematangsiantar. Sementara, kini saya bermukim di Medan. Saat mengurus pencairan deposito di Cabang Bank Mandiri Jalan Katamso Medan beberapa waktu lalu, saya sempat bertanya tentang reksadana ini. Jawaban customer service, reksadana hanya bisa dicairkan di cabang tertentu. Sayangnya, si mbak CS juga kurang yakin cabang mana saja yang bisa mengurus pencairan reksadana.


Berbekal informasi singkat ini, semula saya hendak menelpon call centre Bank Mandiri. Ah tapi, malah sudah nggak yakin dulu. Call centre kan di pusat, jangan-jangan nanti jawabannya cuma “dicairkan di salah satu cabang” tapi juga nggak tahu cabang mana pastinya. Kalau begitu jawabannya kan sia-sia sudah hambur-hambur pulsa buat menelpon call centre. Tahu kan, kalau menelpon call centre pasti nggak langsung ketemu manusia? Hahaha..

Jadi, sudahlah, saya memutuskan untuk menelpon kantor cabang saja. Browsing nomor telepon cabang Bank Mandiri di Kota Medan dan menemukan sekian nomor telepon dari sekian cabang. Eh tapi, ajaib, dari sekian cabang dan sekian nomor telepon, hanya satu yang bisa nyambung, yakni cabang bank di Jalan Asia. Sayangnya, staff yang menjawab telepon sama sekali tidak punya informasi yang saya butuhkan. Sigh...


Akhirnya, saya menyempatkan datang ke Bank Mandiri Jalan Katamso. Si mbak CS pun perlu telepon dan bertanya dulu untuk menjawab pertanyaan saya. Ternyata, pencairan reksadana hanya bisa dilakukan di cabang Jalan Perintis Kemerdekaan. Sekalian deh saya minta nomor telepon cabang tersebut. Setelah saya telepon, fixed memang bisa dicairkan di bank tersebut. Berbeda dengan tabungan atau deposito, pada akun reksadana tidak ada dokumen fisik seperti buku atau sertifikat bukti kepemilikan. Jadi saya hanya perlu membawa KTP dan buku tabungan bank.

Beberapa minggu kemudian, saya  baru bisa datang ke Jalan Perintis. Oleh satpam diarahkan ke bagian nasabah prioritas (baru sekali itu ke bagian prioritas, berasa orang kayah hahaha....). Kalau di bagian umum antre panjang, di ruang untuk nasabah prioritas ini sepi dan lebih adem. Saya langsung dilayani mbak CS dan diminta mengisi form penjualan unit reksadana.

Saya sekaligus menanyakan prosedur penghentian autodebet bulanan untuk pembelian reksadana. Sebab, selama ini kan sistemnya autodebet. Jadi mau tak mau saya harus meminta pihak bank untuk menghentikan autodebet dana dari rekening saya. Jawaban CS, permohonan penghentian autodebet hanya bisa dilakukan di bank tempat membuka akun reksadana. Itu berarti saya mesti ke Pematangsiantar. Bersyukur, berbekal pengalaman mencairkan deposito, saya meminta bantuan supaya bisa mengisi form di Medan sekaligus pengiriman form (beserta fotokopi KTP dan buku tabungan) ke cabang Pematangsiantar. Ternyata, cara seperti itu bisa dilakukan.


Oh ya, si Mbak CS sempat menawari saya untuk membeli ORI (Obligasi Ritel Indonesia). Hhhmm..belum pernah nih nabung lewat ORI. Berhubung saya suka coba-coba, sesaat sempat kepincut mau tanya-tanya (tanya dulu aja sih, kalaupun tertarik belum ada dana buat beli hihihi). Tapi setelah tahu urusannya tak bisa online, langsung deh mundur teratur.

Tak sampai 30 menit, proses permintaan penjualan unit dan penghentian autodebet selesai. Uang hasil penjualan reksadana dijanjikan masuk rekening selambatnya seminggu. Di perjalanan pulang baru saya sadar kalau ternyata saya nggak membawa pulang salinan bukti apapun. Duh sempat was-was, kalau nanti terjadi apa-apa, saya nggak punya salinan form atau apapun itu bentuk buktinya. Tapi ternyata tidak masalah. Tak sampai seminggu, uang hasil penjualan reksadana sudah masuk rekening. Laporan transaksi juga masuk melalui email.

Meski punya pengalaman manis dengan hasil menabung reksadana di situ, saya tidak tertarik lagi untuk mengulangi. Yang bikin saya tidak tertarik adalah sistemnya yang masih offline, jadi mesti datang ke bank untuk pembukaan akun dan menjual reksadana. Untuk pembelian sih bisa disiasati dengan autodebet (tapi kena charge Rp 6.000 per satu reksadana per pendebetan). Belum lagi kalau pindah-pindah kota, agak ribet urusan penyetopan autodebet.


Sekarang sih saya lebih nyaman dengan reksadana online. Mulai urusan buka akun, maupun transaksi jual beli bisa dilakukan via gawai.  Tapi bagaimanapun, Bank Mandiri sudah berjasa banget memberikan pengalaman pertama menabung reksadana. 

3 komentar untuk "Pengalaman "Menutup" Reksadana di Bank Mandiri"

  1. Ternyata tidak begitu sulit ya menutup reksadana. :D
    Terima kasih atas pengalamannya mbak. :)

    BalasHapus
  2. Pas bgt. Sya lagi mencari artikel ini karena persis pengalaman buka Rd offline di mandiri. Trmksh

    BalasHapus
  3. hallo... makasih sblumnya untuk infonya... mau tanya kalau mencairkan reksadana sblum jatuh tempo kena pinalti berapa? trima kasih

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)