Surat Kecil Untuk Emak


Hasil gambar untuk surat jaman dulu
pic : serubareng.net



Sudah (me)nonton film “Surat Kecil Untuk Tuhan?” (Bagi yang nggak tahu), itu loh film nasional yang dibintangi Bunga Citra Lestari dan Joe Taslim. Hehehe, seolah aku tahu saja ya pakai kata “bagi yang nggak tahu”. Padahal, aku sendiri enggak nonton. Aku cuma lihat iklannya plus baca resensinya hahaha. Jadi, aku jelas nggak akan cerita soal film itu ataupun cerita soal nonton film itu.


Tapi jujur, judul film itulah yang aku bajak lalu aku pelesetkan sedikit.

Sudah pernah menulis surat untuk emak/ibu/mama/mami/simbok/ambu/mommy....apalah kita menyebut sosok perempuan itu? Jujur saja, sebelum akhirnya “dipaksa” (tanda kutip), aku sama sekali belum pernah melakukannya.

Padahal nih,....padahal :

  •   Menulis surat untuk guru, pernah
  •   Menulis surat untuk teman, pernah
  •  Menulis surat untuk pacar, pernah
  •  Menulis surat ke perusahaan, pernah
  •  Menulis untuk blog, pernah
  • Menulis untuk pekerjaan, dulu makanan sehari-hari (kecuali hari libur hehehe)
  • Menulis catatan pelajaran, idem dengan poin di atas

Dan rasanya list masih bisa diperpanjang.  Tapi menulis untuk emak, orang yang sudah mengandung dan merawatku, aku justru belum pernah menulis barang dua tiga lembar kertas.

Apakah kalian pernah?

Berbahagialah yang pernah, bahkan mungkin masih melakukannya. Iya sih, aku pernah menulis sedikit tentang emak di blog ini juga. Tapi bukan menulis UNTUK  emak, melainkan tentang emak. Pun itu juga bukan khusus tentang emak, tapi sekaligus tentang ibu mertuaku. Parahnya lagi, tulisan itu jelas tak akan terbaca oleh emak yang tak mengenal internet. Kecuali kalau dengan sengaja aku (atau orang lain) menunjukkan tulisan itu pada emak (yang lalu akan kesulitan kalau harus membacanya di gawai).

Aku memang pernah berpikir untuk menulis buat emak. Tapi pikiran itu tak pernah aku wujudkan karena berbagai sebab. Tapi yang terutama adalah karena aku belum pernah melakukannya, jadi ada rasa aneh-segan-malu de-es-be yang campur-aduk laiknya gado-gado. Sampai kemudian ada pengumuman tentang menulis-memoar-untuk-orangtua di grup WA alumni Sekolah Perempuan. Nantinya, tulisan yang masuk akan diterbitkan menjadi sebuah buku antologi.

Di saat kelambatan menyelesaikan buku solo, rasanya menarik juga untuk ikut antologi. Mana tahu, bisa melecut semangat untuk segera menyelesaikan proyek pribadi.  

Pertama baca sebenernya belum mudeng apa itu memoar #LOL. Mau nanya segan #LOL (lagi!). Jadi lah gugling buat tau apa artinya. Oh, rupanya memoar itu catatan atau rekaman tentang pengalaman hidup seseorang. Menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa atas peristiwa yang dialami dan tentang tokoh yang berhubungan dengannya (kbbi.web.id)

Nggak pakai mikir panjang, aku memutuskan untuk join. Dan ternyata, yang join buanyaak lhoo. Tercatat ada 134 emak-emak di daftar calon peserta. Coba, kalau satu orang nulis tiga sampai empat lembar, jadi seberapa tebal itu buku? Sampai-sampai Mbak Nina selaku Penanggung-Jawab (PJ) bilang, bisa saja nanti jadi beberapa buku.

Oh ya, kalau nggak salah ingat, “lowongan” menulis ini dibuka di awal-awal Ramadhan (2017). Deadline-nya habis lebaran. Jadi, untuk menulis tiga-empat lembar, rentang waktunya cukup panjang-lah (demikian sombong-ku waktu itu!). Dan karena aku (bersama suami dan anak-anak) berencana mudik ke Jawa, jadi aku berniat untuk menyelesaikan naskahku sebelum mudik. 

Jadilah malam-malam di hari-hari itu aku berusaha untuk menuliskan surat untuk emakku. Sebenarnya boleh saja untuk emak dan atau bapak atau keduanya. Tapi aku pilih emak karena bapak kan sudah almarhum. Sementara aku berharap nantinya emak bisa membaca suratku yang tertulis di dalam buku antologi itu. Jadinya semacam “hadiah” yang unik buat emak-lah. (Tentu saja aku berdoa agar emak juga aku sama-sama bisa menyaksikan buku itu terbit. Soal umur, siapa yang tahu kaaan? Makanya aku berdoa untuk kesempatan itu).

Tapi sungguh mati, menulis buat emak ternyata tak semudah yang aku kira. Terbukti selama aku masih di Medan, surat itu tak pernah jadi. Sampai-sampai aku memaksakan diri membawa laptop saat mudik. Mana tahu di kampung nanti, tulisanku mengalir lancar. Terlebih di sana kan ketemu Emak...

Tapiii, di kampung aku justru nggak buka laptop sama sekali (kekhawatiranku terjadi :D). Namanya juga lagi pulkam saat lebaran, suasananya liburaaan banget. Daripada buka laptop dan berkutat sendirian dengan kata-kata, mending berkata-kata dengan emak dan saudara-saudara (ketemunya kan jarang-jarang) atau jalan-jalan.

Bahkan sampai balik ke Medan lagi, tulisan itu tak segera jadi. Padahal, setelah di Medan, aku berusaha menulis setiap ada waktu. Tapi ya namanya juga emak-emak-dengan-tugas-rangkap-rangkap-dan-tanpa-asisten, ada waktu untuk menulis ya cuma malam saat anggota keluarga lain sudah nyaman di kasur.

Coba tebak, kesulitannya itu apa/di mana??? Cuma empat lembar saja kok susah amat. Hihi, agak malu juga nih bilangnya. Kesulitannya itu ternyata ada di emosi. Menulis buat emak ternyata bikin nangis ngis ngis. Mewek, banjir air-mata di depan laptop, lalu otak dan jari-jemari tak bisa lanjut. Bagaimana tidak kalau saat menulis  jadi ingat pengorbanan dan perjuangan orangtuaku, juga jadi ingat bandel-bandelku. Bikin meloowwww. Kalau sudah stagnan gini, mending tinggalkan laptop dan nyusul tidur.

Daaaaaan...ternyata nggak hanya aku yang mengalami hal itu. Banyak peserta lain yang juga mengaku kesulitan menyelesaikan naskah karena persoalan serupa. Sampai-sampai kata “tissue” berulang kali disebut dalam chat-grup kami. Ihiiiks, memang betul-betul butuh tissue, kalau tak ada serbet juga boleh lah.

Akhirnya, dari 130-an yang daftar join, naskah yang terkumpul hanya 41 (kalau aku nggak salah hitung). Penyebabnya memang nggak cuma masalah emosi haru-biru sih. Ada juga yang karena sibuk atau sebab lainnya jadi nggak bisa mengejar deadline.   


Hasil gambar untuk grandmother reading book
pic : shutterstock.com

Puji Gusti, aku masuk angka 41 itu. Saat naskahku selesai, rasanya ada beban yang terangkat. Legaaaa dan bersyukur. Sekarang, naskah-naskah yang masuk lagi proses editing. Mudah-mudahan saja lancar prosesnya.  Sehingga suatu hari, emak bisa membaca suratku itu.



9 komentar untuk "Surat Kecil Untuk Emak"

  1. Hihihi ... ternyata butuh perjuangan dan doa buat nulis empat lembar surat buat emak. Plus segepok tissue 😭

    Aku juga sampai harus bolak-balik kamar mandi buat ngeluarin yang meleleh di hidung. Enggak mau dilihat oleh orang rumah lagi nangis bombay gegara nulis antologi surat cinta buat ortu 😀

    Semoga antologi kita lancar jaya dan jadi inspirasi buat pembaca. Aamiin 😇

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiin...sama-an ya mbak ismi. penasaran sama isi surat teman-teman :)

      Hapus
  2. Aku belum pernah juga sih nulis surat buat orang tua, pasti bakal merasakan hal yang sama kalo diminta nulis.
    Btw smoga lancar proses editing dan segera terbit antologinya biar emak cepat baca ya.

    BalasHapus
  3. semangat terus mbak, doa emak pasti selalu menyertai dimana pun beliau berada...

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mama keizha.. ini balas komen dulu baru mau buka kode2nya hahaha

      Hapus
  4. Keren idenya .. menuliskan prosesnya di blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. namanya pra-promo (terselubung) ya mbak nani hihihi

      Hapus
  5. keren, mau ikutan nunggu yang masih proses editing...hihi..Mbak, kalo aku nulis puisi buat Bapak sering, cerpen(ato memoar yaa haha) juga pernah..Tapi yang buat Ibuk kok susah, yaa hiks!

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)