Sad Story : Gagal VBAC

Barangkali ada yang belum mengerti, langsung saya tuliskan kepanjangan VBAC, yakni Vaginal Birth After Caesar atau persalinan vaginal (normal) setelah operasi caesar.


Sejak kehamilan pertama tahun 2009, saya menginginkan persalinan normal. Apa daya, kehamilan pertama molor hingga melampui Hari Perkiraan Lahir (HPL). Bahkan ditunggu hingga 40 minggu, tak juga ada tanda-tanda melahirkan. Sebagai calon ibu baru, saya stres. Terlebih saat itu, emak yang jauh-jauh datang dari Jawa Tengah (waktu itu saya tinggal di Kabanjahe, Sumut), justru drop karena tensi darah naik hingga 220. Suami juga sering tugas keluar kota.

Kombinasi situasi yang sungguh-sungguh membuat saya tertekan. Tiap saat saya berdoa agar si bayi bisa lahir normal. Saya sampai berganti dokter hingga tiga kali. Sebab, saya merasa dokter pertama dan kedua sangat pro-caesar. Di dokter ketiga, saya diberi waktu seminggu. Jika sampai seminggu bayi tetap tidak lahir, saya harus operasi. Hari-hari itu saya seperti ngotot berdoa memohon agar terjadi keajaiban. Agar ada rasa mulas, agar ada kontraksi, agar ada flex. Tapi semua tanda itu tak ada yang muncul. Sebenarnya dokter sempat menyarakan proses induksi. Namun, menurut kakak saya yang berprofesi bidan, juga menurut bidan pendamping, daripada diinduksi mending langsung dioperasi. Karena proses induksi tidak menjamin bisa melahirkan normal. Bisa jadi si ibu sudah kesakitan, tapi toh akhirnya harus tetap dioperasi.

Hingga dalam kelelahan psikis, saya berdoa : "saya memohon, tapi kehendak-Mu Tuhan yang terjadi".



Sekalipun demikian, hingga menjelang naik meja operasi pun saya masih berharap ada keajaiban. Tapi harapan saya kosong. Sekitar pukul 10.00, perut saya dibedah. Dikeluarkan-lah bayi mungil yang kelak kami namai Amazea Ladika Evan (ALE).  

Operasi berjalan lancar. Pasca-operasi juga tak ada kejadian yang mengkhawatirkan. Ah ya, dua minggu setelah pulang dari rumah sakit ujung luka operasi sedikit bengkak dan mengeluarkan nanah. Saya sempat panik, terlebih suami sedang keluar kota. Hanya berdua dengan si bayi, saya ke rumah sakit. Rupanya luka itu hanya diberi Rivanol. Oh berarti bukan luka serius. Dan memang, hingga tahun-tahun selanjutnya, tak ada keluhan sehubungan dengan bekas luka caesar.

Tahun 2013, saya hamil anak kedua. Di kalangan masyarakat, masih banyak yang berpendapat bahwa jika partus pertama terjadi secara caesar, maka selanjutnya juga wajib caesar. Bahkan dokter pertama dan kedua yang saya kunjungi juga langsung berkata demikian. Saya bersikukuh, bahwa kelahiran normal pasca caesar bukanlah hal mustahil. Sudah banyak orang yang membuktikannya. Saya sempat bahagia karena dokter ketiga, yakni dokter Eka menyatakan kemungkinan tersebut.


Setiap saat saya berdoa memohon persalinan normal. Saya juga menyugesti diri dan bayi dalam kandungan supaya kami bisa bekerja sama mencapai tujuan. Saya membaca banyak tulisan tentang "gentle birth". Saya juga cukup rajin berolahraga (jalan kaki) dan melakukan gerakan senam hamil yang mendukung kelahiran normal. Saya memercayai keajaiban. Sekalipun sempat didiagnosa panggul sempit, tapi hal yang sulit bisa saja terjadi. Saya membaca beberapa testimoni ibu-ibu yang sebelumnya caesar karena divonis panggul sempit, namun kemudian bisa melahirkan normal.

Oktober 2014, lebih awal dua minggu dari HPL, dini hari saya terbangun dengan perut terasa sakit. Perut terasa kencang. Menurut referensi, itulah yang dinamakan kontraksi. Yuhuuuu,,,saya senang bukan kepalang, Saat kehamilan pertama dulu, saya sama sekali tidak merasakan kontraksi. Bahkan kontraksi palsu sekalipun. Harapan melahirkan normal semakin membesar. Terlebih, pagi hari, ada flex darah di pakaian dalam. Saya menghubungi bidan yang kepadanya saya beberapa kali memeriksakan kandungan. Ternyata bidan yang itu sedang pulang kampung, Saya hubungi bidan satunya, yakni kawan saya. Ternyata beliau sedang sakit. Bidan satu lagi, yang rumahnya berseberangan dengan tempat tinggal saya juga sedang pulang kampung. Duuuh...

Sekalipun merencanakan persalinan di rumah sakit, tapi saya ingin cek ke bidan dulu. Sebab, menurut saya, bidan praktik di rumah lebih sabar daripada dokter dan paramedis di rumah sakit. Selain itu, sudah mengenal si bidan juga memberi kenyamanan tersendiri. Bahkan sebenarnya saya lebih menginginkan partus di bidan. Tapi suami tidak setuju dan mengharuskan persalinan di RS. Alasannya, kalau nanti terjadi apa-apa (karena riwayat persalinan pertama caesar), saya bisa langsung mendapat penanangan. Alasan yang logis juga sih. Jadi, mau tak mau saya menurut :D.


Seharian itu kontraksi semakin intens dan teratur. Saya sempat mencatat, kontraksi berlangsung satu menit sekali. Tapi sakitnya kontraksi tak saya rasakan. Bahkan saya masih bisa beraktifitas, termasuk bezoek tetangga di rumah sakit dan berbelanja makanan kecil. Berhubung bidan-bidan yang saya kenal tak ada yang stand by,  sore harinya saya-suami-dan-anak ke RS. Cek vaginal, baru bukaan satu. Tapi melihat intensitas kontraksi dan cek USG, dokter menyarakan agar saya langsung menginap. Menurut dokter, persalinan bisa terjadi kapan saja.

Saya masih optimis, bisa melahirkan normal. Bahkan malam itu, saya masih terus berusaha merangsang pembukaan. Saya berjalan kaki naik turun tangga rumah sakit, juga goyang inul di dalam kamar. Tapi intensitas kontraksi justru menurun. Pagi harinya, suster kembali melakukan VT. Ternyata masih bukaan satu! Suster menelpon dokter, dan oleh dokter langsung disuggest operasi.

Saya DOWN.

Saya belum bisa menerima. Harapan yang sepertinya sudah membumbung ke langit tiba-tiba terhempas. Saya benar-benar ingin pulang saja. Saya masih ingin menunggu. Mungkin ini memang belum waktunya. Apalagi HPL masih sekitar dua minggu lagi.


Dari kamar, saya menelpon suster. Suster menelpon dokter. Lalu suster menelpon saya. Intinya, saya boleh kembali pulang ke rumah dan menolak operasi caesar. Namun saya harus menandatangani dokumen bahwa rumah sakit tidak bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat penolakan saya. Saya makin down. Saya menangis. Di satu sisi saya ingin memperjuangkan kelahiran normal. Di sisi lain, segala sesuatu tampak tidak mendukung.

Dengan bujukan suami, akhirnya dengan berat hati saya bersedia untuk operasi caesar. Semestinya, saya bisa operasi sekitar pukul 10.00. Namun, karena negosiasi alot dengan diri sendiri, saya memilih operasi sekitar pukul 14.00. Huft... setelah sekian daya dan usaha, toh akhirnya saya harus caesar juga. Menunggu jam operasi tiba, sekuat tenaga saya atur pikiran dan perasaan. Saya gunakan teknik-teknik self-hypnotherapi yang saya jalani saat hamil.

Walaupun ini jauh dari keinginan saya, tapi saya mau masuk ke ruang operasi dengan hati yang sudah UP. Walau mata masih sembab, sempatkan selfie-selfie dulu deh. Bersyukurnya, saya bisa "memaksa" suami untuk menemani masuk ruang bedah. Bukan karena saya takut tapi karena saya ingin si kecil kami sambut berdua. Sayang sekali, saya tak berhasil memaksa suami untuk merekam proses operasi.


Puji Tuhan, operasi berjalan lancar. Walau tak seturut keinginan, saya mengucap syukur karena kami, ibu dan bayi, selamat. Puji Tuhan juga, ada proses Inisiasi Menyusui Dini, proses yang tidak saya jalani di operasi caesar pertama. Pemulihan juga berjalan wajar dan sepulang ke rumah, saya bisa langsung beraktifitas. Sampai sekarang juga tak ada keluhan terkait luka operasi. Sempat ada kekhawatiran, kekecewaaan itu akan menyebabkan babyblues. Tapi bersyukur, tak ada babyblues.

Tapi jujur, hingga sekarang pun, sesekali saya masih mellow karena kegagalan VBAC itu. Dan setiap mellow, saya harus melawannya dengan berbagai pengalihan, seperti :

"Duh, lihat deh itu mereka yang berjuang punya anak. Mereka pasti nggak akan peduli deh, mau lahir normal kek, mau caesar kek, yang penting punya bayi."

"Dokter kan sudah bilang, kamu ada aritmia jantung. Dokter bilang, untung kamu operasi." (Tentang ini, nanti saya buat tulisan sendiri).

Bla-bla-bla dst pengalihan pikiran lainnya.

Yah...memang, dalam hidup, kita tidak selalu bisa meraih apa yang kita inginkan. Walau demikian, hidup harus terus berjalan. Dalam hal ini, walau anak-anak ini tidak dilahirkan dengan cara yang saya inginkan, saya toh tetap mencintai dan menyayangi mereka. Sepenuh Hati.


Posting Komentar untuk "Sad Story : Gagal VBAC"