mengapa daily wife?

Kalo baca/dengar kata daily, biasanya otak kita langsung nyambung ke koran cetak luar negeri, taruhlah New York Daily atau London Daily. Dan kalo kita pakai jasa Paman Gugel (gak tau kenapa saya merasa cocok dengan sebutan paman untuk mesin pencari yang terkenal seantero jagad ini), kata daily memang nggak akan jauh-jauh dari surat kabar (cetak) --di era online, situs berita bakal kalah saing kalo apdet beritanya nunggu ganti hari, mengacu pada salah satu portal berita mereka berlomba dengan kecepatan detik...hihihi tampak lebay yak--


pic : www.pixabay.com
Tapi saya nyaman-nyaman saja menyambungkan kata daily dengan wife, bahkan saya cinta banget dengan frasa ini. Bagi saya, frasa daily wife adalah eureka, karena saya merasa enggak nyontek dari buku maupun internet. Meski merasa itu ide orisinal, nggak perlulah ndaftarin hak paten segala. Apalagi, ketika tanya paman Gugel, ternyata sudah ada yang pake “dailywife” untuk nama blog-nya (untung di domain tetangga). Cuma, setelah saya baca, ternyata kontennya adalah resep-resep masakan (sigh…apa karena “wife” itu selalu identik dengan masak-memasak ya???)

Ada alasan yang bikin saya cinta banget dengan kata daily wife –istilah yang paling representatif bagi saya saat ini. Daily wife adalah hasil metamorfosa saya setelah delapan bulan dalam fase monthly wife. Apa pula monthly wife?

Hahahha, sebenernya baik daily wife maupun monthly wife hanyalah istilah lucu-lucuan bagi saya yang setelah menikah nggak langsung tinggal bareng suami. Atas pertimbangan finansial dan kesiapan mental, kami sepakat dengan satu hal : sementara bertahan pada pekerjaan masing-masing dengan konsekuensi tinggal beda kota, bahkan beda pulau –masih mending enggak beda negara . Jarak jauh plus keterbatasan cuti plus bujet transportasi (karena kalo mo cepet mesti naik pesawat) membuat frekuensi pertemuan kami paling banter sebulan sekali (inilah biang dari istilah monthly wife).
Makanya, saat menikah, sebenernya kami kurang layak mendapat ucapan selamat menempuh hidup baru. Sebab, tinggal sendiri-sendiri membuat rutinitas kami nggak beda jauh dengan mereka-mereka yang masih lajang. Ketika saya masih berstatus monthly wife (dan suami monthly husband), cocok bener deh lagu dangdut yang liriknya begini : masak-masak sendiri, makan-makan sendiri, cuci baju sendiri -ga ding, ada tukang cuci kok :D-, tidur pun sendiri (maap kalo ga tepat, taunya gini sih).

Ups…ada yang sedikit beda ding –dan ini puenting-, yakni sudah halal untuk kemaruk bercinta saat ketemuan hehehehe.

Well, setelah menimbang aspek plus-minus (pake analisis SWOT segala loh), akhirnya kami memutuskan saya yang resign (seorang temen berkomentar lewat YM : dooh, kenapa sih selalu perempuan yang mesti mengalah??? ---saya akan membuat tulisan tersendiri tentang “mengalah” ini). Setelah empat tahun dua bulan saya berstatus karyawan, per 1 Agustus 2009 saya keluar. Lalu, 14 hari kemudian, saya menyusul suami dan mengawali babak kehidupan baru sebagai daily wife yang bisa ketemu suami setiap hari (kecuali dia ada tugas keluar kota).

Sampai saya menulis ini, saya masih menjadi daily wife yang belum berminat untuk mencari pekerjaan baru. Saya ingin menikmati hari-hari ini sebagai penebusan dari waktu-waktu sebelumnya yang terisi penuh dengan kelayapan . Sementara ini tugas pokok saya adalah mengurusi pekerjaan domestik, dengan bonus waktu untuk jalan-jalan, menulis, dan gentayangan di dunia maya.

Hui hui..menjadikan pekerjaan domestik sebagai tugas utama adalah pengalaman baru buat saya yang sebelumnya adalah tipikal perempuan yang jarang terlihat lama diem di rumah, entah untuk kerja atau sekedar kelayapan bermain kemana-mana. Kalau soal menyapu, mencuci, dan menyetrika sih masih gampang….tapi soal memasak? Wedeew…saya cuman bisa resep-resep dasar macam tumis, rebus-rebus, dan goreng-goreng. Praise The Lord, suami saya enggak rewel soal makanan. So, saya ga perlu seperti seorang temen saya yang katanya selalu harap-harap cemas tiap kali suami mulai makan. Olaaaa…. (soal masak, saya juga akan buat tulisan tersendiri)

Menjadi daily wife memang tampak sebagai pilihan tradisional yang untuk masa sekarang sama sekali tidak seksi. Betapa berbedanya dengan masa lalu, di mana perempuan terhormat adalah mereka yang tinggal di rumah sebagai istri harian (doooh, ini jaman buyutnya buyut buyut saya kali yak). Sebuah masa, di mana bagi perempuan karir di luar rumah bukanlah pilihan untuk aktualisasi dan eksistensi diri tetapi semata demi kelangsungan hidup.

Tetapi saya sudah membuat keputusan. Godaan untuk menengok ke belakang pasti (akan) ada. Satu hal yang harus saya lakukan adalah melawannya. Saya hanya merasa perlu untuk berpikir kreatif kalau-kalau besok kejenuhan mulai melanda.

Posting Komentar untuk "mengapa daily wife?"